REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Pemerintahan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett akan mengalokasikan dana tambahan untuk “memerangi” gerakan boikot, divestasi, sanksi (BDS) terhadap negara tersebut. Pengumuman itu muncul sehari setelah harian Israel, Israel Hayom, mengklaim bahwa pemerintahan Bennett tak berbuat cukup untuk melawan BDS.
"Antisemitisme kontemporer datang dalam banyak samaran. Hari ini, energi kebencian Yahudi ini sering diarahkan pada negara Yahudi. Kewajiban kita sebagai Negara Israel adalah untuk mengeksposnya, bahkan ketika itu disamarkan, dan melawannya," kata Bennett pada Ahad (23/1/2022), dikutip laman Al Araby.
Gerakan BDS dimulai pada Juli 2005. Tujuan utama kampanye BDS adalah memberi tekanan kepada Israel agar mengakhiri pendudukannya atas Palestina. Jalur pertama yang ditempuh adalah melalui boikot, yakni melibatkan penarikan dukungan terhadap Israel dan perusahaannya yang terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap rakyat Palestina. Lembaga olahraga, budaya dan kesenian, serta akademik Israel turut menjadi sasaran kampanye pemboikotan.
Kemudian divestasi adalah kampanye yang mendesak bank, dewan lokal, termasuk universitas, untuk menarik investasinya dari semua perusahaan Israel. Perusahaan-perusahaan internasional yang terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap rakyat Palestina juga dibidik.
Sementara sanksi merupakan kampanye yang bertujuan mendesak pemerintah memenuhi kewajiban hukumnya untuk meminta pertanggungjawaban Israel. Dalam hal ini, para aktivis BDS juga akan menuntut pemerintah masing-masing agar mengakhiri transaksi perdagangan dengan Israel. Para pejabat Israel telah menuding gerakan tersebut sebagai anti-Semit.