REPUBLIKA.CO.ID, KIEV – Pemerintah Ukraina mengecam langkah Amerika Serikat (AS) mengevakuasi sejumlah diplomatnya dan keluarga mereka dari Kiev. Keputusan Washington itu didasarkan pada kemungkinan perang antara Ukraina dan Rusia.
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Ukraina menyebut, keputusan AS mengevakuasi para diplomatnya prematur dan bentuk kehati-hatian yang berlebihan. “Faktanya, tidak ada perubahan radikal dalam situasi keamanan baru-baru ini: ancaman gelombang baru agresi Rusia tetap konstan sejak 2014, dan akumulasi pasukan Rusia di dekat perbatasan negara ini dimulai pada April tahun lalu,” kata Kemenlu Ukraina dalam sebuah pernyataan, Senin (24/1/2022), dikutip laman Newsweek.
Ukraina mengatakan, saat ini Rusia sedang melakukan upaya aktif untuk mengacaukan situasi internal di negara tersebut. “Sejumlah besar informasi yang salah, manipulasi, dan pemalsuan menyebar di ruang media Ukraina serta internasional untuk menabur kepanikan di antara orang Ukraina dan orang asing, mengintimidasi bisnis, dan merusak stabilitas ekonomi serta keuangan negara kami. Dalam situasi ini, penting untuk menilai risiko dengan bijaksana dan tetap tenang," kata Kemenlu Ukraina.
Namun terlepas dari keputusan penarikan sejumlah diplomat, Ukraina tetap menyampaikan terima kasih kepada AS atas dukungan dan bantuan militer kepada mereka. Akhir pekan lalu, ABC News melaporkan bahwa Departemen Luar Negeri (Deplu) AS sedang bersiap menyetujui evakuasi beberapa diplomatnya dari kedutaan mereka di Kiev. Keluarga para diplomat terkait akan turut dipulangkan.
Di situs web resminya, Deplu AS mengungkapkan, penarikan sejumlah diplomat tersebut bukan berarti bahwa kedutaan mereka di Kiev akan berhenti beroperasi. Saat ini, diperkirakan terdapat 100 ribu tentara Rusia telah ditempatkan di perbatasan Ukraina.
AS dan NATO telah menuding Rusia memiliki intensi untuk melakukan agresi terhadap Ukraina. Namun, Moskow membantah tuduhan tersebut. Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak Februari 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych.
Yanukovych dimakzulkan setelah gelombang demonstrasi berlangsung tanpa henti selama tiga bulan. Massa memprotes keputusan Yanukovych membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa. Keputusan tersebut ditengarai akibat adanya tekanan Moskow. Rusia memang disebut tak menghendaki Kiev lebih dekat atau bergabung dengan Uni Eropa.
Baca: Kasus Covid-19 Omicron Tembus 1.626, Lebih dari 1.000 dari Pelaku Perjalanan Internasional
Baca: Tangerang Tutup Semua Taman dan RTH untuk Tekan Kasus Covid-19
Baca:Jumlah Pengunjung Kebun Raya Bogor Berkurang Terpengaruh Ganjil Genap
Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca-pelengseran Yanukovych. Namun Rusia menentang dan memandang hal tersebut sebagai kudeta. Tak lama setelah kekuasaan Yanukovych ditumbangkan, Moskow melakukan aksi pencaplokan Semenanjung Krimea. Kala itu terdapat kelompok pro-Uni Eropa dan pro-Rusia di Ukraina. Kelompok separatis pro-Rusia merebut sebagian besar dua wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbass. Pertempuran pun berlangsung di sana dan telah memakan 14 ribu korban jiwa. Hingga kini, ketegangan masih terjadi di wilayah tersebut.