REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dian Fath Risalah, Rizky Suryarandika
Peneliti dari Universitas Oxford, pada Senin (24/1/2022) merilis kesimpulan bahwa, dosis penguat (booster) dari vaksin AstraZeneca-Oxford, Pfizer-BioNTech atau Johnson & Johnson yang diberikan setelah dua dosis vaksin buatan Sinovac secara signifikan memicu antibodi yang lebih tinggi pada penerimanya. Mereka menambahkan, respons antibodi terhadap varian Delta dan Omicron juga terlihat.
Menurut Covid-19 Vaccine Tracker, vaksin CoronaVac telah digunakan di 52 negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan informasi dari pembuatnya, CoronaVac, 51 persen efektif mencegah infeksi bergejala dan 100 persen efektif mencegah terjadinya kasus rawat inap dan penyakit parah.
Studi dibiayai oleh Kementerian Kesehatan Brazil dan dilaksanakan oleh peneliti dari Brazil dan Universitas Oxford. Hasil penelitian dipublikasikan di jurnal Lancet.
"Studi ini menunjukkan, bahwa vaksin Coronavac dapat sukses di-booster dengan beberapa vaksin, yang respons terkuatnya muncul saat vaksin mRNA digunakan (untuk booster). Studi ini menyediakan opsi penting bagi pembuat kebijakan di banyak negara yang menggunakan Coronavac," kata Direktur Grup Vaksin Oxford, Profesor Sir Andrew Pollard, dikutip Reuters.
Dalam publikasinya, para peneliti mengungkap detail studi dilakukan terhadap 1.240 relawan di Sao Paulo, Salvador, dan Brazil. Di mana sebanyak 1.205 relawan dinyatakan layak untuk masuk dalam analisis akhir.
Para relawan dibagi ke dalam empat kelompok. Yakni kelompok yang menerima booster Oxford-AstraZeneca, Pfizer-BioNTech, Janssen dan Coronavac. Booster diberikan enam bulan setelah dua dosis utama Coronavac.
Level antibodi ditemukan rendah relawan sebelum mereka menerima booster. Di mana, level antibodi hanya 20, 4 persen pada usia 18-60 tahun dan 8,9 persen pada penerima usia di atas 60 tahun.
Peningkatan antibodi kemudian meningkat signifikan di semua level usia setelah 28 hari pascasuntikan booster. Level antibodi tertinggi tercatat berasal dari booster vaksin jenis mRNA.
"Data terbari menunjukkan respons luar biasa dari dosis ketiga vaksin Covid-19 secara heterolog. Data-data ini akan menjadi petunjuk bagi negara-negara berpendapatan rendah dan menengah dalam menetapkan program booster dengan biaya terjangkau," kata Professor Sue Ann Costa Clemens CBE, yang merupakan kepala peneliti studi ini.