REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Prancis akan menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi untuk mengusulkan peta jalan deeskalasi terkait ketegangan Rusia-Ukraina. Paris memiliki kekhawatiran mendalam atas ketegangan yang berlangsung di perbatasan kedua negara tersebut.
Kantor kepresidenan Prancis mengungkapkan, Presiden Prancis Emmanuel Macron akan melakukan pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
“(Macron) tetap bertekad menggunakan semua sumber daya diplomasi untuk menjaga stabilitas Eropa serta menunjukkan solidaritas dan kesiapannya untuk mendukung negara-negara Uni Eropa yang mengkhawatirkan keamanan mereka,” katanya, Senin (24/1/2022), dilaporkan France24.
Dalam pembicaraan yang hendak disponsori Prancis, Rusia bakal didorong untuk sepenuhnya menerapkan Minsk Agreement 2015. Dalam konteks ini, Moskow diminta menarik dukungannya kepada kelompok pemberontak yang memerangi pasukan pemerintah Ukraina di Donbass.
Prancis, seperti negara Barat lainnya, telah menyatakan dukungannya kepada Ukraina. Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian juga menegaskan bahwa Eropa memiliki tekad untuk mengambil tindakan melawan Rusia. “Uni Eropa memiliki keinginan untuk menggunakan sanksi sebagai pencegahan sehubungan dengan Rusia untuk mencegah inkursi atau serangan, militer atau lainnya, terhadap Ukraina,” ujarnya.
Amerika Serikat (AS) dan NATO telah menuding Rusia memiliki intensi untuk melancarkan agresi terhadap Ukraina. Namun Moskow membantah tuduhan tersebut. Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak Februari 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych.
Yanukovych dimakzulkan setelah gelombang demonstrasi berlangsung tanpa henti selama tiga bulan. Massa memprotes keputusan Yanukovych membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa. Keputusan tersebut ditengarai akibat adanya tekanan Moskow. Rusia memang disebut tak menghendaki Kiev lebih dekat atau bergabung dengan Uni Eropa.
Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca-pelengseran Yanukovych. Namun Rusia menentang dan memandang hal tersebut sebagai kudeta. Tak lama setelah kekuasaan Yanukovych ditumbangkan, Moskow melakukan aksi pencaplokan Semenanjung Krimea. Kala itu terdapat kelompok pro-Uni Eropa dan pro-Rusia di Ukraina. Kelompok separatis pro-Rusia merebut sebagian besar dua wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbass. Pertempuran pun berlangsung di sana dan telah memakan 14 ribu korban jiwa. Hingga kini, ketegangan masih terjadi di wilayah tersebut.