Kaum Perempuan Tulang Punggung Program Pemberdayaan Muhammadiyah
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Rektor UMY, Prof Gunawan Budiyanto. | Foto: Dok UMY
REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Pusat Studi Muhammadiyah menggelar webinar bertajuk Negara dan Peran Muhammadiyah dalam Upaya Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak. Webinar terselenggara bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Hadir menyampaikan pidato kunci Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Lalu, pidato pembuka disampaikan Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof Gunawan Budiyanto.
Lalu, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP 'Aisyiyah, Dr Atiyatul Ulya, dan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dr Jasra Putra, pengantar Direktur PSM, Bachtiar Dwi Kurniawan, dan dipandu oleh peneliti PSM, Nawang Kurniawati.
Rektor UMY, Prof Gunawan Budiyanto menilai, membicarakan kasus-kasus perempuan dan anak tentu antara yang kuat melawan yang lemah. Baik karena jenis kelamin, kedudukan, posisi fisik, dan lain-lain dengan perempuan yang banyak jadi objek.
Dalam kekerasan seksual, gugatan, dan pelacuran terselubung yang dikemas human trafficking. Kemudian, permasalahan anak yang mulai berkembang dengan kekerasan seksual ke anak, penindasan ke anak, dan pemaksaan tenaga kerja di bawah umur.
Ia menekankan, Muhammadiyah sejak awal berdiri sudah memberikan perhatian yang luar biasa kepada perempuan dan anak. Misal, lewat Kongres Wanita Indonesia pertama di Solo, dan pendirian Sopo Tresno yang kemudian menjadi 'Aisyiyah.
"Ini bukti Muhammadiyah memberikan porsi yang cukup kepada perempuan untuk bisa memberdayakan diri. Artinya, tidak mencoba untuk menempatkan perempuan sebagai sesuatu yang segalanya, tapi pada satu posisi yang strategis sesuai kemampuan," kata Gunawan, Selasa (25/1).
Sehingga, lanjut Gunawan, 'Aisyiyah berkembang sama hebatnya dengan Muhammadiyah. Justru, keberadaan perempuan menjadi tulang punggung pergerakan dari organisasi Muhammadiyah, dari program-program pemberdayaan yang dimiliki Muhammadiyah.
Bahkan, itu semua terjadi sebelum kemerdekaan. Artinya, sebelum kemerdekaan Muhammadiyah telah terbiasa berbuat bagi bangsa, termasuk lewat pendirian taman kanak-kanak maupun mendirikan Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) pada 1951.
Jadi, ketika perempuan memiliki kerentanan dan anak belum memiliki keberdayaan, Muhammadiyah sudah memberikan perhatian besar kepada perempuan dan anak. Di daerah-daerah, BKIA ini yang jadi cikal bakal berdiri RS PKO atau RS 'Aisyiyah.
Maka itu, sudah jadi konsen spesifik Muhammadiyah dan 'Aisyiyah memberikan perhatian pada pemberdayaan perempuan dan anak seusai koridor masing-masing. Perlu diselaraskan program-program negara dan program-program yang selama ini dikelola Muhammadiyah.
Gunawan berharap, diskusi ini akan menjadi sangat menarik dengan isu-isu yang lebih luas lagi. Sebab, ia mengingatkan, aspek-aspek permasalahan perempuan dan anak jauh lebih besar, tidak sekadar kekerasan seksual yang lebih banyak muncul.
"Oleh karena itu, selama ini Muhammadiyah dan 'Aisyiyah selalu mencoba melakukan pergerakan dengan konsep yang bertautan, saling mengisi, sehingga tidak ada bias gender yang bisa muncul dari kegiatan yang ada di Muhammadiyah dan 'Aisyiyah," ujar Gunawan.