REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Aisyiyah, Dr Atiyatul Ulya, mengutuk keras berbagai bentuk kekerasan ke perempuan dan anak. Apalagi, membahayakan perlindungan dan penghormatan martabat kemanusiaan, generasi maupun agama.
Ia mengatakan, PP Aisyiyah maupun PP Muhammadiyah turut melakukan kajian terhadap RUU PKS atau RUU TPKS secara rutin dari berbagai perspektif. Mulai dari perspektif tarjih, hukum pidana, hukum acara maupun perlindungan korban.
Beberapa hasil dari kajian-kajian tersebut, pertama rumusan definisi kekerasan seksual dalam RUU TPKS perlu dikaji ulang. Sebab, ia melihat, rumusan definisi kekerasan seksual dalam RUU TPKS belum dapat dipahami dan tidak konsisten.
Kedua, beberapa rumusan hukum acara pidana dalam RUU TPKS sulit diimplementasi lapangan. Masih banyak ketentuan hukum acara pidana RUU TPKS harus diperjelas antara lain terkait saksi dan pembuktian yang berdampak terhenti perkaranya.
Ketiga, RUU TPKS belum mengatur aktivitas seksual lain, terutama yang dilakukan di luar pernikahan yang sah. Aktivitas seksual itu sangat meresahkan masyarakat dan berdampak terhadap perlindungan dan penghormatan bagi martabat kemanusiaan.
"Sangat penting pemerintah dan DPR segera membuat peraturan perundangan terkait aktivitas seksual di luar pernikahan sah atau memasukkan RKUHP, sehingga tatatan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai nilai-nilai agama, Pancasila dan budaya bangsa," kata Atiyatul dalam webinar yang digelar PSM dan UMY, Selasa (25/1/2022).
Ia menuturkan, upaya-upaya pencegahan dan penanganan kekerasan kepada perempuan dan anak telah dilakukan baik oleh Muhammadiyah maupun Aisyiyah. Antara lain melakukan sosialisasi konsep keluarga sakinah yang ditetapkan Majelis Tarjih.
Selain itu, ia menerangkan, Aisyiyah melakukan pendampingan untuk korban dengan memberikan layanan-layanan yang dibutuhkan melalui Pos Bantuan Hukum (Posbakum). Yang mana, sudah hadir di hampir semua provinsi yang ada di seluruh Indonesia.
"Pendampingan yang diberikan sangat beragam mulai dari pendampingan hukum, psikologis, spiritual, medis hingga rehabilitasi," ujar Atiyatul.
Data Kementerian PPPA sendiri, kasus kekerasan yang terjadi kepada perempuan dan anak terus meningkat selama pandemi Covid-19. Kasus kekerasan kepada perempuan meningkat 18,32 persen, sedangkan kasus kekerasan anak meningkat 28,54 persen.
Korban dari kasus kekerasan kepada perempuan meningkat 17,97 persen, sedangkan korban dari kasus kekerasan kepada anak meningkat 28,72 persen. Sebanyak 39 persen perempuan alami kekerasan fisik dan 30 persen mengalami kekerasan psikis.
Lalu, 12 persen mengalami kekerasan seksual, 10 persen penelantaran dan dua persen tindak pidana perdagangan orang. Untuk anak, 45 persen alami kekerasan seksual, 19 persen psikis, 18 persen fisik dan lima persen alami penelantaran.