Pakar: Warga Penerima Ganti Rugi Lahan Perlu Pendampingan
Red: Fernan Rahadi
Spanduk penolakan ganti rugi lahan di pasang di sudut Dusun Temanggal 1, Kalasan, Sleman, Yogyakarta, Jumat (11/12). Warga menolak rendahnya ganti rugi lahan warga yang terdampak proyek Jalan Tol Jogja-Solo. Di Dusun Temanggal 1 ada sekitar 150 warga yang terdampak proyek tol ini. | Foto: Wihdan Hidayat / Republika
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sejumlah warga desa di Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Tuban, Jawa Timur mendadak menjadi miliarder usai mendapat ganti rugi dari penjualan tanah dan lahan untuk proyek pembangunan kilang minyak PT Pertamina pada Februari 2021 lalu. Mereka umumnya memborong membeli mobil dan kebutuhan mewah lainnya. Namun setelah satu tahun berlalu, berapa warga tersebut jatuh miskin karena tidak ada lagi sumber penghasilan yang mereka bisa dapatkan sebagaimana mana saat mereka bisa menggarap lahan pertaniannya.
Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol UGM, Hempri Suyatna menilai fenomena munculnya warga miliarder yang tiba-tiba menjadi jatuh miskin menunjukkan adanya fenomena culture shock atau gegar budaya yang tidak dapat dikelola dengan baik. Menurutnya, masyarakat tidak siap menghadapi proses perubahan yang terjadi dan sayangnya tidak ada pendampingan dari pemerintah atau perusahaan di dalam mengelola uang ganti rugi tersebut. “Budaya konsumtif dan budaya instan yang ada di masyarakat seringkali menyebabkan masyarakat tidak berpikir untuk jangka panjang,” kata Hempri, dalam siaran pers, Rabu (26/2).
Fenomena miliarder yang jatuh miskin ini bagi Hempri tidak hanya akan terjadi di Tuban akan tetapi juga perlu diantisipasi untuk daerah-daerah lain yang mengalami ganti rugi lahan sebagai dampak dari proyek pembangunan. Selama ini, banyak kasus yang terjadi kompensasi ganti rugi lahan dianggap cukup selesai ketika masyarakat sudah menerima uang sebagai kompensasi tersebut.
"Tidak ada arahan dari pemerintah misalnya terkait penggunaan dana kompensasi tersebut. Akibatnya banyak masyarakat yang kemudian menggunakan dana tersebut untuk kepentingan konsumtif membeli mobil, rumah dan sebagainya. Kalaupun membuka usaha seringkali kecenderungan hampir sama seperti membuka warung kelontong atau usaha dagang. Padahal, masyarakat tidak memiliki bekal untuk itu sehingga mereka mengalami kegagalan di dalam merintis usaha," katanya.
Mengantisipasi terulangnya kasus warga Sumurgeneng di Tuban ini, Hempri berpendapat sebaiknya perusahaan membantu masyarakat terdampak ini untuk tetap bisa bertahan. Bisa saja dilakukan dengan pemberian keterampilan yang dapat mendorong masyarakat untuk merintis UMKM. Kasus di Tuban ini seharusnya bisa menjadi pelajaran untuk kedepannya. Sebab kasus-kasus pembebasan lahan baik yang dilakukan pemerintah maupun perusahaan harus memperhatikan dampak jangka panjang. "Jangan sampai proyek-proyek pembangunan justru memarginalisasikan masyarakat kecil dengan munculnya masyarakat miskin dan pengangguran," katanya.
Selain itu, pemerintah maupun perusahaan dapat memberikan pendampingan manajemen keuangan dan membentuk mental masyarakat untuk berpikir jangka panjang. Bahkan kompensasi-kompensasi yang muncul mungkin tidak sekedar uang, akan tetapi program-program alih profesi, memberikan pelatihan dan keterampilan masyarakat dapat dilakukan untuk itu. "Perusahaan dapat mengembangkan program-program tersebut melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) mereka untuk mengembangkan program-program alih profesi ini," katanya.