REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun membantah tiga dalil yang digunakan Mahkamah Konstitusi (MK) guna menyikapi Presidential Threshold (PT) atau ambang batas syarat pengajuan calon presiden (Capres) sebesar 20 persen. Refly melontarkan argumentasi guna menolak pandangan MK terkait penerapan PT.
Refly mengamati putusan MK yang berkali-kali tak menerima uji materil mengenai PT. Ia mendapati tiga argumen yang digunakan MK untuk menolak, yaitu penguatan sistem presidential, open legal policy, dan PT adalah soal tata cara.
"Kami kemukakan kontra argumen, tidak benar (PT) untuk sistem presidential karena sudah sangat kuat sekarang setelah amandemen UUD 1945. Presiden yang terpilih bisa didukung di luar mitra yang diajukan (saat pilpres) seperti Gerindra dan PAN yang masuk (kabinet)," kata Refly dalam sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (26/1).
Refly meyakini, penghapusan PT sudah sesuai konstitusi. Ia tak sepakat bila PT disebut open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang jadi kewenangan pembentuk Undang-Undang apabila konstitusi sebagai norma hukum tertinggi tidak memberikan batasan yang jelas bagaimana seharusnya materi dalam UU diatur. "Ini juga closed legal policy karena kententuan sangat jelas di konstitusi," ujar Refly.
Refly juga menuding pemberlakuan PT sebesar 20 persen lebih ditujukan untuk kepentingan partai politik (parpol), bukan publik. Ia meyakini regulasi ini dipertahankan demi melanggengkan kekuasaan parpol tertentu.
"Ini bukan soal tata cara karena substansi inilah yang ingin dipertahankan partai-partai besar karena dianggap menguntungkan," kata Refly.
Karena itu, Refly meminta MK mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya dalam petitumnya. "Kalau hakim MK punya putusan lain, maka kami harapkan putusan yang seadil-adilnya," sebut Refly.
MK diketahui menggelar sidang lanjutan terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan Gatot Nurmantyo dengan perkara Nomor 70/PUU-XIX/2021. Nantan Panglima TNI itu didampingi oleh Refly Harun dan Salman Darwi sebagai kuasa hukum.
Gatot menggugat UU Pemilu terkait pasal 222 UU 7 tahun 2017 tentang PT sebesar 20 persen. Dalam gugatannya, Gatot meyakini PT bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 6 ayat 2, Pasal 6 A ayat 2, dan Pasal 6 A ayat 5.