REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari kusta sedunia diperingati setiap tahun di pekan terakhir Januari. Organisasi masyarakat yang bekerja untuk eliminasi kusta NLR Indonesia mengungkap fakta Indonesia menempati peringkat ketiga negara dengan jumlah kasus penyakit kusta terbanyak di dunia.
"Kalau melihat persebaran secara global, Indonesia masih ada di peringkat tiga dengan jumlah kasus penyakit kusta tertinggi setelah India dan Brazil. Ini tentu tidak membanggakan," ujar Technical Advisor NLR Indonesia Astri Ferdiana saat mengisi konferensi virtual bertema Tolak Stigmanya, Bukan Orangnya, Rabu (26/1/2022).
Sementara itu, dia melanjutkan, tercatat per 2020 lalu masih ada enam provinsi yang belum bisa mengeliminasi kusta atau menekan kasusnya di bawah 1 per 1.000 penduduk. Kemudian dari 514 kabupaten di Indonesia, tercatat masih ada 98 kabupaten/kota yang belum berhasil menghadapi permasalahan kusta secara optimal.
"Padahal, targetnya adalah Indonesia menekan sampai nol kasus," ujarnya.
Ia menambahkan, kusta adalah penyakit infeksi kronis yang sifatnya jangka lama. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri ini, dia menambahkan, menyerang kulit dan saraf tepi tubuh.
Awalnya tanda atau gejala kusta itu sederhana. Bahkan, saking sederhananya, dia melanjutkan, sampai orang menganggap kusta sama seperti sakit kulit biasa seperti panu karena ada bercak di kulit berwarna putih atau merah.
"Tetapi perbedaannya dengan panu adalah bercak kusta tidak gatal, tidak nyeri, tidak bersisik bahkan tidak terasa ketika diusap dengan kapas alias mati rasa. Makanya orang terkena kusta kemudian ketika badan atau kulitnya terkena panas atau tertusuk jarum, tertusuk duri tidak terasa apa-apa," ujarnya.
Karena tak merasakan apapun, dia melanjutkan, bahayanya di situ. Sebab, jika kusta terlambat dideteksi atau diobati bisa menimbulkan kelainan atau kecacatan di beberapa bagian tubuh.
"Contohnya (kecacatan) di mata, jari tangan, hingga jari kaki," ujarnya.