REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro menganalisis kemungkinan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan maju menjadi calon presiden (capres) 2024. Siti meminta Anies yang belum bergabung dengan partai politik (parpol) jangan ikut-ikutan latah menjadi capres, karena peserta pemilihan umum presiden (pilpres) hanya bisa diusulkan oleh partai.
Menurut Siti, yang bertanggungjawab untuk mengusulkan paslon capres-cawapres adalah parpol. Karena itu, parpol yang sepantasnya berada di depan untuk memberikan kepastian kepada publik bahwa pola rekruitmen untuk memilih paslon benar-benar bisa dipertanggungjawabkan.
"Karena itu, Anies Baswedan tidak perlu latah ikut-ikutan deklarasi (menjadi) calon presiden 2024. Apalagi, dia juga tidak punya parpol dan bukan kader parpol," kata Siti saat dihubungi Republika di Jakarta, Rabu (26/1/2022).
Siti menyarankan, posisi Anies sebaiknya menunggu dilamar parpol. Pasalnya, ketika Anies menunjukkan proaktifnya dan bahkan door to door kunjung ke partai meminta dukungan, justru hal tersebut menjadi blunder bagi dirinya. Bila mengikuti konstitusi dan peraturan yang ada saat ini, kata dia, aturan main Pemilu 2024 mengikuti pola yang sudah dilaksanakan pada Pemilu 2019.
Pertama, mengacu pada ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, satu-satunya pintu untuk mendapat tiket sebagai peserta Pemilu Presiden/Wakil Presiden Indonesia adalah partai politik atau gabungan partai politik (parpol). Pasal tersebut menyebutkan pasangan calon presiden/wakil presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.
Kedua, dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI Tahun1945 menyebutkan bahwa warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tanpa terkecuali.
"Artinya, peluang itu tetap ada asalkan diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memenuhi persyaratan ambang batas pencalonan presiden/wapres minimal 20 persen kursi atau minimal 25 persen suara hasil pemilu anggota legislatif," kata Siti.
Ketiga, dia melanjutkan, dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) disebutkan bahwa pasangan calon diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR RI sebelumnya.
Namun, Siti menyayangkan dalam pasal tersebut tidak ada batas maksimal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) sehingga jumlah kontestan terbatas agar tidak terjadi borongan dukungan partai. Dia mencontohkan, Pemilu Presiden/Wakil Presiden 2019, misalnya, mengacu pada Pemilu Anggota DPR 2014 yang memperebutkan 560 kursi.
Total kursi parpol pendukung pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sebanyak 337 kursi (60,17 persen), terdiri atas PDI Perjuangan (109 kursi), Partai Golkar (91), PKB (47), PPP (39), Partai Nasdem (35), dan Partai Hati Nurani Rakyat (16). Sementara itu, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno diusung Partai Gerindra (73), Partai Demokrat (61), PKS (40), dan PAN (49) dengan total 223 kursi DPR RI (38,98 persen).
Baca juga : PKS Lantik Perempuan Kristiani Jadi Dewan Pakar, PSI: Semoga Bukan Gimmick
Dalam Pilpres 2019, Siti menilai, tidak ada satu pun parpol yang bisa mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden sendiri, tetapi mereka harus berkoalisi dengan partai lain supaya memenuhi persyaratan ambang batas 20 persen, yaitu 112 kursi dari total kursi DPR RI 2014-2019. Padahal, sangat memungkinkan munculnya empat pasang calon.
Dalam draf RUU Pemilu hasil pemutakhiran pada 26 November 2020, khusus pada pemilihan kepala daerah (pilkada), masih membuka peluang bagi pasangan calon perseorangan. "Namun, untuk pilpres, sampai saat ini pintunya masih tertutup rapat," ujar Siti.