REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, kerangkeng manusia di kediaman Bupati Langkat non-aktif Terbit Rencana Perangin Angin telah menyita perhatian publik. Saat ini, tugas Polri dalam mengusut maksud dibuatnya kerangkeng tersebut.
"Itulah tugasnya Polri, itu sudah menjadi sebuah kasus yang menarik perhatian publik soal kerangkeng manusia itu. Tugas Polri untuk menyelidiki, apakah di sana ada unsur pidana atau tidak," ujar Arsul di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (26/1/2022).
Ia mengatakan, saat ini beredar dua maksud dibuatnya kerangkeng manusia tersebut. Pertama, tempat rehabilitasi bagi pengguna narkoba dan kedua adalah tempat untuk mengurung pekerja di lahan sawit.
"Jadi fakta kemudian disimpulkan seperti yang teman-teman Migrant Care menyatakan itu seperti perbudakan modern, itu menurut hemat saya ada unsur pidana di sana," ujar Arsul.
Jika benar adanya perbudakan, Terbit akan dikenai pidana karena telah merampas kemerdekaan seseorang. Kendati demikian, ia masih menunggu penyelidikan dari Polri terkait kerangkeng manusia tersebut.
"Kita serahkan kepada polisi, jangan juga menyimpulkan ada atau tidak ada tindak pidana sebelum tuntas melakukan penyelidikan," ujar Wakil Ketua MPR itu.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan bahwa orang-orang di dalam kerangkeng manusia yang ditemukan di rumah Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin merupakan pekerja kebun sawit. KPK mengkonfirmasi hal tersebut saat melakukan penggeledahan di rumah tersangka kasus korupsi tersebut.
Mereka memang menemukan dua sel saat melakukan penggeledahan di rumah bupati Langkat, Terbit Rencana. Tim penyelidik lembaga antirasuah itu lantas mencurigai adanya masalah menyusul temuan kerangkeng itu dan menanyakan siapa orang-orang yang ada di dalamnya.
"Orang-orang yang di dalam itu kemudian menerangkan bahwa mereka itu adalah pekerja di kebun sawit milik bupati kabupaten Langkat," kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron di Jakarta, Rabu.