Jika istilah radikal dimaknai sebagai sikap ekstrim atau berlebih-lebihan, maka sebaliknya, sikap wasathiyyah bermakna pertengahan. Artinya, tidak ekstrim ke kiri dan tidak juga ekstrim ke kanan. Karena itulah program deradikalisasi yang efektif seharusnya mengembalikan bangsa ini pada sikap al-wasathiyah.
Namun, makna al-wasathiyah bukan berarti meredam ghirah dan semangat ber-Islam kaum muslimin. Jelas, bukan itu! Nah, agar tidak keliru, mari kita rujuk kepada bahasa aslinya, yaitu wasatha. Dari bahasa asli ini setidaknya kita bisa memaknai al-wasthiyah kepada tiga hal, yakni:
Pertama, pertengahan. Artinya, sesuatu yang berada di tengah antara dua sisi. Tidak terlalu ke kiri, tidak pula terlalu ke kanan. Keadaan seperti ini semakna dengan kata tawassuth, yang artinya mengambil jalan tengah, tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tidak pula tafrith (mengurangi ajaran agama).
Paham liberal jelas bukan sikap wasathiyah. Mereka cenderung mengurangi, menambah, atau membuat persepsi baru tentang ajaran Islam. Para ulama di negeri ini sudah sepakat untuk mengharamkan paham liberal.
Kedua, wasathiyah berarti terbaik atau termulia. Istilah ini diungkapkan dalam al-Qur'an surat Al-Baqarah [2] ayat 143, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pilihan yang terbaik agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu."
Para ulama tafsir memaknai al-wasath dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 143 ini dengan "pilihan dari yang terbaik". Maka, kalimat ummatan wasathan berarti "umat pilihan dan terbaik", yaitu umat yang menempuh jalan tengah, meyakini kehidupan akhirat, kemudian beramal shaleh sebanyak-banyaknya di dunia ini.
Ketiga, kata wasathiyah berarti adil. Seorang hakim yang memutus perkara secara adil, tidak berat sebelah, bersikap obyektif, maka ia tergolong al-wasath. Begitu pula muslim yang wasathiyah, tak boleh bersikap zalim dalam memutus segala perkara.
Selain tiga makna tersebut, wasathiyah juga bermakna tawassuth (mengambil jalan tengah), i’tidal (sikap tegak lurus dan adil), tawazun (berkeseimbangan), tasamuh (toleransi), dan tathawwur (berkembang). ***
Penulis: Mahladi Murni