Selasa 01 Feb 2022 02:00 WIB

Soal Pelabelan BPA untuk Galon, Ini Pendapat Guru Besar IPB

Pelabelan BPA untuk galon isi ulang masih menjadi polemik

Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi galon. Pelabelan BPA untuk galon isi ulang masih menjadi polemik..
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ilustrasi galon. Pelabelan BPA untuk galon isi ulang masih menjadi polemik..

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) hingga kini masih terus mengkaji batas paparan aman asupan harian Bisfenol A (BPA) yang dapat ditoleransi tubuh manusia (tolerable daily intake/TDI).  

Menurut guru besar bidang keamanan pangan dan gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Ahmad Sulaeman, kajian itu memakan waktu yang sangat panjang dan dilakukan dengan sangat berhati-hati.  

Baca Juga

“Di EFSA saja (itu dilakukan) sangat hati-hati dan waktu yang panjang. Mereka melakukannya sejak 2007, dan sampai sekarang saja mereka belum memutuskan dan masih terus me-review. Mereka masih mewacanakan untuk mengubah TDI di sana,” ujar Prof Ahmad, dalam keterangannya, Senin (31/1/2022). 

Dia mengatakan peraturan yang ada di Indonesa mengizinkan keberadaan BPA di dalam kemasan pangan termasuk yang berpotensi bermigrasi ke pangan dan menjadi cemaran pada pangan. 

Menurutnya, batasan migrasi berbagai jenis senyawa kimia dalam semua jenis kemasan pangan juga telah diatur secara komprehensif dalam PERBPOM No.20/2019. Contohnya BPA pada PC serta asetaldehid, etilen glokol, dietilen glikol pada PET. 

Menurutnya, batas maksimum migrasi BPA di Indonesia adalah 0,6 bpj dan ini masih sangat sesuai dengan mayoritas batas maksimum migrasi BPA negara-negara maju di dunia lainnya. 

Contohnya Jepang (2,5 bpj), Korea Selatan (0,6 bpj), RRC (0,6 bpj), bahkan USA tidak ada batas spesifik migrasinya. 

“Jadi, sampai saat ini sepengetahuan saya, tidak ada satupun negara di dunia yang mengeluarkan peraturan kewajiban pelabelan khusus terkait BPA termasuk kepada produsen air minum dalam kemasan,” kata dia. 

Dia juga menyampaikan bahwa pencantuman logo recycle dengan nomor serta nama bahan kemasan di bawah kemasan botol minuman untuk saat ini sudah cukup, dan tidak perlu ditambah embel-embel bebas BPA. 

“Jadi, menurut saya, mengacu kepada hasil kajian lembaga-lembaga pengawas keamanan pangan di berbagai negara, pelabelan kemasan air minum bebas BPA belum perlu dilakukan. Yang perlu dilakukan adalah analisi risiko paparan BPA dari berbagai sumber paparan di Indonesia,” katanya. 

Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, mengatakan ketidaksepahaman yang masih terjadi antar kementerian dan lembaga terkait sehubungan dengan adanya rencana perubahan Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan harus diselesaikan dalam pembahasan antar Kementerian (PAK). 

“Jadi, sebelum ada kesepakatan antar kementerian dan lembaga terkait, maka perlu ditunda dulu harmonisasinya. Karena, itu berarti secara substansi belum dapat disepakati K/L terkait,” ujarnya.  

Dia menegaskan bahwa selayaknya pembentukan suatu peraturan, prosesnya harus dilakukan secara transparan dan partisipatif. Apalagi kalau peraturannya itu akan mengikat pihak luar institusi pembentuknya.  

Karena revisi Peraturan BPOM itu sudah masuk harmonisasi, menurut Fajri, sebaiknya Kemenkumham harus memastikan dulu bahwa seluruh kementerian dan lembaga terkait sudah setuju dengan peraturan itu. 

“Apabila tetap dilanjutkan prosesnya sampai kemudian disahkan, pengujian Peraturan Menteri/Kepala Lembaga itu bisa dibawa ke Mahkamah Agung karena dianggap bertentangan dengan UU,” katanya. 

Namun, dia mengatakan akan sangat disayangkan apabila yang mengajukan itu adalah bagian dari pemerintah juga yang menolak kehadiran peraturan itu. “Jadi, menurut saya, sebaiknya permasalahan itu diselesaikan dalam proses pembentukannya di internal pemerintah sebelum disahkan,” kata dia.  

Seperti diketahui, kebijakan pelabelan Free BPA terhadap kemasan AMDK galon guna ulang ini masih menjadi polemik. Kementerian Perindustrian masih menolak kebijakan ini. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga meminta BPOM agar memperhatikan juga keberatan-keberatan dari para stakeholder terkait.    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement