REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih mengatakan, kebijakan pembelajaran tatap muka (PTM) perlu dievaluasi. Pasalnya, lonjakan kasus Covid-19 di setiap daerah berbeda-beda dan membutuhkan penanganannya masing-masing.
"PTM di sekolah sebaiknya melibatkan otoritas daerah dan satuan pendidikan setempat. Termasuk apakah suatu daerah mau diterapkan 100 persen, 50 persen atau bahkan dihentikan sama sekali, bila memang kondisinya tidak memungkinkan," ujar Fikri lewat keterangan tertulisnya, Selasa (1/2/2022).
Lonjakan kasus Covid-19 dan munculnya varian omicron di Indonesia perlu menjadi bahan evaluasi dalam kebijakan PTM 100 persen. Ia tak ingin hadirnya klaster di sekolah yang membuat tenaga pengajar dan siswa menjadi korbannya. "Klaster-klaster baru bermunculan di sekolah, namun yang paling tahu kondisi real di lapangan tentu satuan pendidikan setempat," ujar Fikri.
Apalagi bila ternyata PTM mengakibatkan gangguan kesehatan dan ancaman jiwa, maka pemerintah harus memperhatikan masukan-masukan dari berbagai pihak. Terutama dari sisi keilmuan dan lembaga pendidikan.
Ia menjelaskan, berbagai pihak meyakini bahwa PTM belum tergantikan dalam kegiatan belajar mengajar selama dua tahun pandemi. Menurutnya, kegiatan belajar mengajar secara langsung juga membangun karakter para siswa.
Ditambah dengan adanya mata pelajaran praktik yang tentu tidak mungkin hanya memperlihatkan tutorial lewat media virtual. Sehingga PTM adalah sebuah kebutuhan yang sangat ditunggu semua pihak siswa, guru, maupun tenaga kependidikan.
"Pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 menurut laporan Kemendikbudristek efektifitasnya mengalami fluktuasi dan paling rendah hanya sekitar 46 persen. Wajar bila learning loss ini bila terakumulasi dalam kurun waktu lama bisa mengakibatkan generasi yang hilang," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.