REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur the Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, menilai rencana pemetaan masjid dalam upaya pencegahan radikalisme dan terorisme perlu dikaji ulang.
Harits mengatakan pasal 43a ayat 2 UU No 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teroris mengamanahkan bahwa dalam upaya pencegahan perlu memperhatikan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian.
"Mengabaikan prinsip kehati-hatian bisa potensial melahirkan produk kebijakan dan implementasi lapangan yang kontra produktif dan blunder. Terorisme kita harus hapus di bumi NKRI, namun demikian idealnya pada tataran konsep, cara dan prosesnya semaksimal mungkin juga harus bisa menihilkan dampak kontraproduktifnya," kata Harits.
Agar rencana pemetaan masjid tidak melahirkan mudharat lebih besar daripada maslahatnya, Harits menyarankan agar para pihak terkait mencermati beberapa hal.
Rencana pemetaan masjid diprediksi akan membutuhkan anggaran besar mengingat total masjid di Indonesia kurang lebih sebanyak 900 ribu. Karena itu menurutnya rencana tersebut membutuhkan jumlah SDM yang cukup besar, baik dilakukan oleh BNPT, Polri, BIN, BAIS dan atau melibatkan unsur Pemda, masyarakat, ormas, dan akademisi.
"Otomatis memunculkan nomenklatur anggaran baru dan kebutuhan dana cukup besar. Tentu bisa menambah beban APBN, APBD diluar dana hibah yang ada," ujar dia.
Selain itu menurut Harits, monitoring masjid ketika berjalan akan membutuhkan waktu cukup lama dan terus menerus. Akan menyasar saat khutbah jumat, pengajian rutin atau isidentil di masjid, bahkan pembelajaran terhadap santri TPA/TPQ yang di masjid menjadi target monitoring.
"Dan itu semua berlangsung sampai kapan? Jika ada masjid yang divonis terkait terorisme dan radikalisme apa tindakan legalnya? Bagaimana juga rehabilitasinya di kemudian hari? Banyak point harus dijawab tuntas dan transparan," kata dia.