Rabu 02 Feb 2022 11:57 WIB

Olimpiade Beijing 2022, Antara Gengsi dan Ambisi

Olimpiade Musim Dingin (Winter Olympic) digelar di Beijing pada 4-20 Februari 2022.

 Orang-orang mengendarai sepeda di dekat dekorasi untuk Olimpiade Musim Dingin Beijing, di Beijing, Cina, 24 Januari 2022. Cina dijadwalkan menjadi tuan rumah Olimpiade dan Paralimpiade Musim Dingin Beijing 2022 pada bulan Februari, menjadikan ibu kotanya kota pertama di dunia yang menjadi tuan rumah kedua Musim Panas ( 2008) dan Olimpiade Musim Dingin (2022).
Foto: EPA-EFE/WU HONG
Orang-orang mengendarai sepeda di dekat dekorasi untuk Olimpiade Musim Dingin Beijing, di Beijing, Cina, 24 Januari 2022. Cina dijadwalkan menjadi tuan rumah Olimpiade dan Paralimpiade Musim Dingin Beijing 2022 pada bulan Februari, menjadikan ibu kotanya kota pertama di dunia yang menjadi tuan rumah kedua Musim Panas ( 2008) dan Olimpiade Musim Dingin (2022).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China lebih beruntung daripada Jepang sebagai negara penyelenggara pesta olahraga paling bergengsi di jagat raya ini. Kedua negara ekonomi terbesar di Asia itu sama-sama menyelenggarakan Olimpiade di tengah pandemi global Covid-19. Bedanya, Olimpiade Musim Panas yang biasa dikenal dengan Summer Olympic yang digelar di Tokyo telah beberapa kali mengalami penundaan akibat pandemi sebelum akhirnya benar-benar terlaksana pada 23 Juli-8 Agustus 2021. Sementara Olimpiade Musim Dingin (Winter Olympic) digelar di Beijing sesuai jadwal pada 4-20 Februari 2022 tanpa adanya penundaan, karena didukung oleh berbagai persiapan yang sangat matang.

Persamaannya, penyelenggaraan kedua ajang global empat tahunan tersebut menerapkan sistem tertutup untuk mencegah penularan Covid-19.Meskipun implementasinya sama, kedua negara memberikan label yang berbeda. Tokyo Summer Olympic menamainya dengan buble system, sedangkan Beijing Winter Olympic memperkenalkannya dengan istilah close loop.

Baca Juga

Intinya, siapa pun yang terlibat dalam ajang tersebut, baik atlet, pelatih, ofisial, wasit, perangkat pertandingan, panitia, dan sarana pendukung lainnya, harus berada dalam satu sistem kawasan tertutup. Ini agar mereka benar-benar steril dari kontaminasi virus corona jenis baru yang dalam dua tahun terakhir ini telah bermutasi menjadi berbagai varian tersebut.

Menyelenggarakan ajang apa pun dalam skala besar tentu biayanya sangat mahal. Apalagi diselenggarakan di tengah situasi pandemi seperti saat ini. Biaya pun bertambah tak terkira, mulai pengadaan perangkat pendukung antipandemi hingga fasilitas lain kalau-kalau ada yang positif terinfeksi Covid-19. Bisa jadi, mahalnya biaya yang dikeluarkan ini tidak sebanding dengan pemasukan, mengingat ajang tersebut tidak boleh mendatangkan penonton seperti olimpiade-olimpiade yang digelar sebelum pandemi.  Padahal kehadiran penonton, terutama para suporter dari berbagai negara, menjadi mesin pencetak uang tersendiri bagi pihak tuan rumah.

Pada Olimpiade yang digelar selama pandemi, tidak semua orang bisa duduk di tribun stadion atau di pinggir lintasan perlombaan. Semua harus diseleksi secara ketat, terutama menyangkut riwayat kesehatan dan perjalanan seseorang sehingga nantinya patut menyandang sebagai penonton  pilihan.

Memang, Indonesia tidak mengirimkan kontingen ke ajang olahraga multi-cabang di musim dingin tersebut. Namun bukan berarti tidak ada unsur Indonesia di sana. Setidaknya, penulis dan pucuk pimpinan Kedutaan Besar RI di Beijing menjadi sedikit di antara entitas Indonesia yang hadir secara langsung pada ajang itu. Tentunya dengan persyaratan dan tahapan seleksi yang sangat ketat yang sudah berhasil dilalui.

Tokyo boleh saja tidak seberuntung Beijing. Akan tetapi, penyelenggaraan Winter Olympic tahun ini penuh dengan rintangan dan drama politik. Pandemi hanya satu-satunya rintangan yang dihadapi oleh Tokyo dalam menyelenggarakan Olimpiade tahun lalu. Namun Beijing terpaksa harus jatuh bangun membangun kepercayaan dunia internasional secara politis. Selain dihadapkan pada masalah Covid-19 varian Omicron yang juga telah ditemukan di beberapa distrik hingga detik-detik akhir menjelang pembukaan Winter Olympic.

Isu-isu pelanggaraan hak asasi manusia (HAM) terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di Daerah Otonomi Xinjiang kembali diangkat oleh dunia Barat. Ini sebagai dalih untuk memboikot secara diplomatik ajang yang upacara pembukaannya bakal dipimpin oleh Presiden China Xi Jinping di Beijing pada Jumat (4/2) itu. Memang isu itu tidak ada keterkaitannya sama sekali, baik langsung maupun tidak langsung, dengan Olimpiade.  Akan tetapi, Beijing ingin terlihat sempurna di mata internasional di tengah ambisi China menjadi salah satu pemimpin dunia, apalagi rivalitasnya dengan Amerika Serikat kian sengit.

"Kami tidak pernah mengundang diplomat dan politikus untuk hadir. Xinjiang urusan dalam negeri kami, tak elok negara lain turut campur."

Narasi-narasi itulah yang terus dibangun oleh Kementerian Luar Negeri China untuk menangkis sinyalemen yang mengarah pada pendiskreditan kualitas penyelenggaraan Beijing Winter Olympic. 

Belum lagi isu-isu lainnya, mulai penerapan protokol kesehatan yang super ketat, manipulasi hasil tes Covid-19 atlet asing, hingga kerusakan lingkungan sebagai dampak dari pembangunan arena pertandingan ski di kawasan pergunungan Yanqing di pinggiran Beijing.

photo
Keluarga foto bersama dengan membawa atribut Olimpiade Musim Dingin 2022 yang disediakan oleh pihak panitia penyelenggara di kawasan Sanlitun, Beijing, China, Senin (31/12022). Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 digelar pada 4-20 Februari 2022 yang bersamaan dengan musim libur panjang Tahun Baru Imlek. - (ANTARA/M. Irfan Ilmie)

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement