REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy menandatangani dekrit untuk menambah 100 ribu pasukan lebih angkatan bersenjata Ukraina selama tiga tahun ke depan dan menaikan gaji prajurit. Langkah ini diambil saat pemimpin-pemimpin Eropa menegaskan dukungan mereka dalam menghadapi Rusia.
Zelenskiy meminta anggota parlemen untuk tetap tenang dan tidak panik. "(Perintah ini) tidak karena kami akan segera berperang, tapi di masa yang akan datang dan sekarang akan ada perdamaian di Ukraina," katanya, Selasa (1/2/2022).
Rusia menumpuk sekitar 100 ribu pasukan di sepanjang perbatasan Ukraina. Moskow membantah berencana menginvasi negara tetangganya itu. Langkah Rusia juga mendorong Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya memperingatkan akan memberi sanksi keras bila Moskow memutuskan melakukan invasi.
Saat ini jumlah pasukan angkatan bersenjata Ukraina sebanyak 250 ribu pasukan. Jauh lebih rendah dibanding Rusia yang memiliki sekitar 900 ribu pasukan. Ukraina mengatakan sedang mengerjakan peningkatan kerja sama dengan Polandia dan Inggris "dalam kontek agresi Rusia saat ini."
Ketika berkunjung ke Kiev, Perdana Menteri Polandia Mateusz Morawiecki mengatakan Warsawa siap membantu memasok senjata dan gas ke Ukraina. Serta bantuan ekonomi dan kemanusiaan.
"Hidup bertetangga dekat dengan Rusia, kami memiliki perasaan hidup di kaki gunung berapi," kata Morawiecki.
Ia berjanji mengirimkan amunisi artileri, bom mortir, sistem pertahanan udara bergerak dan drone pengintai. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dijadwalkan bertemu dengan Zelenskiy.
Pertemuan itu bagian dari upaya Barat menunjukkan dukungan mereka pada Ukraina. Serta menyakinkan Presiden Rusia Vladimir Putin akan terdapat harga mahal bila ia memutuskan melakukan agresi.
"Kami mendesak Rusia untuk mundur dan terlibat dalam dialog dalam menemukan resolusi diplomatik dan menghindari pertumpahan darah lebih lanjut," kata Johnson dalam pidatonya yang dirilis sebelum ia tiba di Kiev.
"Sebagai sahabat dan mitra demokrasi, Inggris akan terus mempertahankan kedaulatan Ukraina di hadapan mereka yang ingin menghancurkannya," tambah Johnson.
Pekan lalu Barat resmi menolak permintaan Rusia untuk melarang Ukraina bergabung dengan NATO dan menarik pasukan NATO dari Eropa Timur. Tapi mereka bersedia berdialog mengenai pengendalian senjata dan langkah-langkah membangun kepercayaan.
Rusia belum memberi sinyal apa langkah mereka berikutnya dan Kremlin masih menegaskan Putin akan meresponnya "ketika ia menilai perlu melakukannya". Pekan lalu Putin mengatakan AS dan NATO tidak menanggapi tuntutan utama keamanan Moskow tapi Rusia siap untuk berbicara.
Pada Selasa ini ia berbicara melalui sambungan telepon dengan Perdana Menteri Italia Mario Draghi. Kantor perdana menteri Italia mengatakan kedua pemimpin sepakat diperlukannya mencari solusi "berkelanjutan dan tahan lama" pada krisis ini dan membangun kembali "iklim saling percaya".
Kantor perdana menteri Italia mengatakan Draghi menekankan pentingnya meredakan ketegangan di Ukraina. "mengingat besarnya konsekuensi yang akan ditimbulkan eskalasi krisis lebih lanjut," katanya.