REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA – Sekelompok aktivis Uighur mendesak Mahkamah Pidana Internasional (ICC) meluncurkan penyelidikan atas dugaan kejahatan yang dilakukan China terhadap etnis Uighur di Provinsi Xinjiang. Menurut mereka, bukti kejahatan itu cukup kuat.
Para aktivis Uighur itu tergabung dalam beberapa organisasi, antara lain The East Turkistan Government in Exile, Human Rights Watch Association of East Turkistan, dan the Association of Turkic World Solidarity and Cooperation. Mereka, bersama warga Uighur yang tinggal di Turki, menggelar konferensi pers bersama di sebuah hotel di Distrik Zeytinburnu di Istanbul, Selasa (1/2/2022).
Kepala the Association of Turkic World Solidarity and Cooperation, Halit Kanak, mengatakan, sudah waktunya ICC turun tangan dan menyelidiki dugaan kejahatan yang dilakukan China di Xinjiang. Dia mengungkapkan, bukti menunjukkan jumlah orang Uighur yang dideportasi dari negara-negara tetangga China meningkat tajam.
"Data yang dikumpulkan melalui studi lapangan mendalam di Tajikistan, Kirgistan, Uzbekistan, dan Kazakstan menegaskan masalah ini," kata Kanak, dikutip laman Yeni Safak.
Dia mengungkapkan, jika ICC meluncurkan penyelidikan, itu bakal menjadi yang pertama dari jenisnya di Asia Tengah. China dilaporkan telah mengizinkan Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Michelle Bachelet untuk mengunjungi Xinjiang. Beijing mempersilakan Bachelet untuk berkunjung setelah penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin Beijing yang digelar 4-20 Februari mendatang.
South China Morning Post, mengutip beberapa sumber, pada Jumat (28/1), melaporkan, kunjungan ke Xinjiang diizinkan dengan syarat kegiatan itu harus “bersahabat” dan tidak dibingkai sebagai penyelidikan. Merespons kabar tersebut, Direktur Human Rights Watch untuk Cina, Sophie Richardson berharap Bachelet tidak terkecoh oleh Beijing.
“Tidak seorang pun, terutama diplomat HAM terkemuka dunia, harus tertipu oleh upaya pemerintah Cina untuk mengalihkan perhatian dari kejahatannya terhadap kemanusiaan yang menargetkan (etnis) Uighur dan komunitas Turk lainnya,” kata Richardson.
Sejumlah negara, antara lain AS, Inggris, Kanada, Australia, Jepang, dan Denmark diketahui memutuskan melakukan boikot diplomatik terhadap penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin Beijing. Dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan China, termasuk terhadap Muslim Uighur, menjadi landasan mereka mengambil keputusan itu. Namun negara-negara terkait tetap mengizinkan para atletnya untuk berpartisipasi dalam ajang olahraga tersebut.
China telah konsisten membantah laporan yang menyebut ada pelanggaran HAM sistematis di Xinjiang, termasuk penahanan lebih dari 1 juta masyarakat Uighur. Namun Beijing tak menampik tentang adanya pusat-pusat pendidikan vokasi di sana. Pusat itu sengaja didirikan untuk memberi pelatihan keterampilan dan keahlian kepada warga Uighur dan etnis minoritas lainnya. Dengan demikian, mereka dapat bekerja dan angka pengangguran di Xinjiang dapat berkurang.