RBC UMM Kaji Masalah Politisasi dan Desentralisasi Pendidikan
Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Fernan Rahadi
Kampus Universitas Muhammadiyah Malang | Foto: Republika/Erik Purnama Putra
REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Permasalahan pendidikan masa kini semakin kompleks, mulai dari kesenjangan antarsekolah, sarana prasarana, hingga kualitas tenaga pengajar. Melihat hal tersebut, Rumah Baca Cerdas (RBC) Institute A Malik Fadjar menyelenggarakan Bincang Pendidikan bertajuk "Catatan Pendidikan Nasional: Dari Politisasi, Desentralisasi, Hingga Problem pada Masa Pandemi", beberapa waktu lalu.
Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Alpha Amirrachman, dalam bukunya yang bertajuk Education Decentralisation: Community Participation, Market, Politic and Local Identity (2021) menyampaikan, pada mulanya para pemangku kebijakan menilai sistem pendidikan yang sentralistik tidak demokratis dan efisien. Karena alasan itu, lembaga pendanaan internasional mengusulkan desentralisasi sebagai sistem pemerintahan yang baru.
Desentralisasi dinilai akan membawa demokratisasi dan apresiasi terhadap kebutuhan lokal. Sebab itu, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 22 Tahun 1999. "Sehingga sistem pemerintahan Indonesia bergeser dari salah satu negara yang bersistem paling terpusat di dunia ke salah satu negara yang paling terdesentralisasi,” ungkap Alpha dalam bukunya.
Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tersebut juga berisi tentang berbagai tugas administrasi yang meliputi berbagai sektor kebangsaan. Hal ini mulai dari sektor pembangunan infrastruktur, kesehatan, perdagangan, pertanian, industri, investasi, lingkungan dan lahan, hingga pendidikan. Semua sektor itu menjadi tanggung jawab utama bagi kabupaten dan kotamadya.
Sementara itu, untuk sektor keamanan dan pertahanan, kebijakan asing, masalah fiskal dan moneter, kebijakan ekonomi makro, hukum dan urusan agama menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,” kata Alpha.
Alpha mengingatkan gelombang desentralisasi yang merambah Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tren global pada saat itu. Kebijakan desentralisasi tersebut tidak muncul secara tiba-tiba. Kehadirannya merupakan antitesis terhadap praktik bernegara secara sentralistik, yang sebelumnya dianggap sebagai cara yang efektif untuk pemerintahan.
Namun saat ini, hal tersebut semakin dianggap tidak efisien dan tidak demokratis. Alpha juga menyinggung praktik desentralisasi pendidikan yang salah satu dampaknya dapat memberi jalan bagi kuasa politik lokal.
Pada saat pemilihan kepala daerah, misalnya, banyak guru yang terjebak ke dalam politik lokal. Keterlibatan mereka dipakai untuk untuk mendulang suara tokoh politik tertentu. Bahkan, menjadikan mereka sebagai tim dengan imbalan naik jabatan.
Di lain sisi, Anggota Komisi X DPR RI Zainuddin Maliki mengatakan, pemerintah berkewajiban memberikan layanan pendidikan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Persoalannya, hal ini belum sepenuhnya terlaksana. Pemerintah dianggap kurang berhasil dalam membangun komunikasi dengan lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat.
“Akibatnya, lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat kurang mendapat perhatian dan memiliki kesan dianak tirikan. Padahal, sekolah-sekolah tersebut sangat banyak jumlahnya”, jelas Zainuddin.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Biro Organisasi Setda Jatim Ramliyanto menyoroti berbagai isu strategis pembangunan pendidikan. Menurutnya, isu pertama adalah adanya perbedaan kualitas satuan pendidikan. Hal ini masih terjadi baik antardaerah Kabupaten atau Kota maupun antarsekolah.
“Tentu saja, perbedaan ini nantinya akan berpengaruh terhadap standar kualitas lulusan peserta didik,” ucap Ramliyanto.
Selanjutnya pada isu kedua, Ramliyanto menyoroti tentang sarana dan prasarana. Menurutnya, ketersedian sarana dan prasarana dalam proses belajar mengajar masih sering menjadi kendala. Utamanya dalam peningkatan kualitas pelayanan pendidikan, khususnya di Jawa Timur.
Dalam sistem zonasi, masih terdapat daerah “blank spot” yang tidak ada sekolah dalam jarak terjangkau. Kemudian ksu ketiga mengenai minimnya kualitas guru dan tenaga pendidik. Hal ini berarti perlu adanya peningkatan kualitas secara berkelanjutan terhadap kompetensi guru, baik kompetensi pedagogi, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian maupun kompetensi sosial.
"Distribusi guru ke berbagai daerah di Indonesia juga harus proposional. Era otonomi daerah saat ini sangat sulit. Tentu hal ini menjadi tantangan yang luar biasa bagi dunia pendidikan di Indonesia,” jelasnya dalam keterangan pers yang diterima Republika, Rabu (2/2/2022).