Jumat 04 Feb 2022 03:31 WIB

Soal Pesantren Terafiliasi Jaringan Terorisme, Kepala BNPT Minta Maaf

Boy Rafli menjelaskan yang dimaksud terafiliasi bukan mengarah pada lembaga ponpes.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Agus Yulianto
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan.
Foto: ANTARA/Dhemas Reviyanto
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar menyambangi Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta Pusat, Kamis (3/2/2022). Kedatangan Boy ini untuk berdiskusi dengan pimpinan MUI dan meluruskan terkait masalah data 198 pondok pesantren yang sebelumnya disebutkan terafiliasi jaringan terorisme.

Boy mengatakan, dalam diskusi itu, pihaknya bersama dengan pimpinan MUI mengupayakan adanya kesamaan persepsi diantara perbedaan pendapat yang ada. Selain itu, dia juga secara langsung menyampaikan permohonan maaf atas penyebutan pondok pesantren yang terafiliasi jaringan terorisme.

"Dari beberapa diskusi itu, saya selaku Kepala BNPT menyampaikan juga permohonan maaf karena memang penyebutan nama pondok pesantren ini diyakini memang melukai perasaan dari pengelola pondok, umat Islam yang tentunya bukan maksud daripada BNPT untuk itu," kata Boy.

Dia menjelaskan, munculnya diksi pondok pesantren dalam rapat bersama Komisi III DPR beberapa waktu lalu bukan bermaksud mengeneralisasi. Demikian pula dengan diksi terafiliasi.

Boy menyebut, kata terafiliasi yang dimaksud dalam penyebutan tersebut memang memiliki arti terkoneksi atau terhubung. Namun, ia menekankan, yang dimaksud terafiliasi bukan mengarah pada lembaga pondok pesantren, tetapi individu-individu yang pernah berhubungan dengan proses hukum terorisme.

"Jadi kami mengklarifikasi, meluruskan bahwa yang terkoneksi di sini adalah berkaitan dengan individu. Jadi bukan lembaga, bukan lembaga pondok pesantren secara keseluruhan yang disebutkan itu, tetapi adalah ada individu-individu yang terhubung dengan pihak-pihak yang terkena proses hukum terorisme," ujarnya.

"Jadi oknum-oknum yang terhubung, berkaitan, apakah mereka saling mengenal, apakah pernah terpapar, terdampak, apakah mereka kemudian menjadi pelaku dari kejahatan terorisme," ujarnya. 

"Tapi sekali lagi, itu adalah bukan dari kelembagaan secara keseluruhan, termasuk tentunya yang kami sebutkan itu. Jadi itu adalah bagian dari individu individu yang terkait," katanya menjelaskan.

Menurut Boy, BNPT dan MUI pun memiliki komitmen yang sama untuk melawan terorisme. Dia menilai, kedua pihak juga harus bekerja sama dalam mencegah dan mengantisipasi ancaman terorisme.

"Jadi kita adalah sedang bekerja bersama-sama dari sisi yang berbeda tentunya. Namun, ada irisan kerja sama yang kita harus hadir bersama-sama, yang kita harus saling memberikan kontribusi," tuturnya.

Selain itu, sambung dia, dalam diskusi tersebut, BNPT dan MUI juga membahas mengenai beberapa istilah-istilah tertentu. Namun, dia tidak merinci, istilah apa yang dimaksud.

"Kita mendiskusikan beberapa istilah-stilah yang tentunya ini lebih kepada penyamaan persepsi di antara kami, di antara BNPT dengan para ulama. Sehingga tentunya kita tidak ingin langkah-langkah ini menjadi langkah-langkah yang kontraproduktif," ungkap dia.

"Namun, tentu dengan kesamaan komitmen itu, bagaimana kita memilihkan langkah yang terbaik ke depan. Agar kejahatan terorisme yang berbasiskan kekerasan tidak menyasar pada kalangan anak-anak muda. Karena yang kita harus selamatkan ke depan adalah anak muda," tambahnya menjelaskan.

Sementara Ketua MUI Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Noor Achmad menyebut, permasalahan terkait penyebutan pondok pesantren ini telah selesai. Dia mengatakan, diskusi antara MUI dan BNPT pun bersifat dinamis dan ilmiah serta memiliki pandangan yang sama. Antara lain, perlu mengantisipasi dan juga terus mewaspadai adanya gerakan terorisme, radikalisme, dan ekstrimisme.

Selain itu, lanjutnya, ada beberapa hal yang disepakati bersama dalam diskusi tersebut. Salah satunya, yakni penggunaan diksi-diksi tertentu.

"Untuk penggunaan diksi-diksi yang dikhawatirkan melukai salah satu kelompok yang memang itu sudah digunakan dalam Islam. Maka dari itu, ke depan penggunaan diksi, seperti pesantren, mahad, dan lain sebagainya, ini akan kita sesuaikan bersama-sama," ungkap Achmad.

Achmad mengatakan, nantinya BNPT dan MUI juga bersama-sama akan merumuskan kaidah-kaidah dan kriteria kriteria seperti apa yang disebut dengan terorisme dan ekstrimisme saat ini. "Dan yang diminta lagi adalah adanya kesamaan hak keadilan, bahwa BNPT itu adalah kekuatan negara, sehingga dengan demikian BNPT adalah untuk negara dan untuk bangsa Indonesia. Artinya antara MUI dan BNPT ke depan akan lebih mempererat kerja samanya," ujar dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement