REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sejak zaman dulu, para kiai telah mendirikan pesantren secara mandiri tanpa melibatkan negara dengan tujuan untuk mencerdasakan anak bangsa. Namun, sejak 2019 lalu, pesantren telah mendapatkan pengakuan dari negara dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren.
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Dirpontren) Kementerian Agama, Waryono Abdul Ghafur menjelaskan, pesantren itu tidak hanya menggelar kegiatan pengajian, tapi ada juga yang menyelenggarakan pendidikan hingga perguruan tinggi.
Namun, menurut dia, belakangan ini undang-undang pesantren menyatakan bahwa sebuah lembaga pendidikan keagamaan bisa disebut pesantren jika memenuhi lima rukun atau yang disebut dengan arkanul ma’had (rukun pesantren).
“Jadi, ketika menyebut pesantren dalam undang-undang harus memenuhi lima rukun. Rukun-rukun ini dikonstruksi dari pengalaman lama pesantren sejak belum adanya negara sampai kemudian negara mengakui,” ujar Waryono saat berdiskusi dengan media di Jakarta, Kamis (3/1).
Rukun pertama, sebuah pesantren harus ada pengasuhnya, yang lazim disebut kiai atau ibu nyai. Pengasuh pesantren ini sanad keilmuannya juga harus jelas. Karena itu, menurut dia, jika menjumpai seseorang yang disebut ustadz, jangan langsung terkesima. Tapi, harus dilihat dulu latar belakang keilmuannya.
“Jadi ketika ada orang disebut ustadz itu jangan kemudian langsung terkesima,” ujar Waryono
Rukun yang kedua, harus ada santri yang menetap di asrama atau bemukim, minimal 15 santri. Namun, 15 santri ini tidak boleh berasal dari keluarga kiainya, seperti putranya, cucunya, keponakannya.
“Jadi, kalau santirnya bolak-balik, misalnya hanya sekolah saja, meskipun itu di pesantren, dia belum disebut santri. Dia hanya sekolah saja yang ada di pesantren,” ujar dia.
Rukun ketiga, sebuah pesantren harus ada asramanya. Namun, menurut Waryono, dalam perkembangannya kemudian ada yang menyebut boarding school. Padahal, kata dia, boarding school berbeda dengan pesantren. Karena, orang yang di boarding school itu belum tentu menetap dan belum tentu ada kiainya.
Rukun keempat, di dalam pesantren ada tempat ibadah yang disebut dengan mushalla, langgar, atau pun masjid. Sedangkan rukun yang kelima harus ada pengkajian kitab kuning. “Nah, yang tidak selalu bording school memiliki itu adalah pengkajian kitab kuning (rukun kelima). Kenapa disebut kitab kuning, karena memang selalu dalam warna yang kekuning-kuningan,” kata Waryono.
Hal ini ditegaskan lagi oleh Waryono lantaran adanya lembaga pendidikan yang mengaku pesantren. Akhirnya, muncul informasi yang menyatakan bahwa ada 198 pesantren yang terafiliasi dengan gerakan terorisme. Padahal, semua itu belum tentu bisa disebut sebagai pesantren.
“Jadi, ini yang disebut dengan arkanul ma’had. Jadi, teman-teman perlu hati-hati ketika nanti ada kejadian peristiwa yang terjadi dalam satu lembaga pendidikan, tapi tidak memenuhi lima unsur, jangan menyebut pesantren, karena itu bukan pesantren,” jelas Waryono.