Sabtu 05 Feb 2022 05:30 WIB

Beda Edy Mulyadi, Beda Arteria Dahlan

Konteks pernyataan Arteria Dahlan soal Bahasa Indonesia diatur Undang-Undang.

Rep: Ali Mansur/ Red: Teguh Firmansyah
Pegiat media sosial, Edy Mulyadi melambaikan tangan saat tiba di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (31/1/2022). Edy diperiksa atas dugaan kasus ujaran kebencian berkaitan dengan pernyataannya tentang pemindahan Ibu Kota Negara (IKN).
Foto: Antara/Adam Bariq
Pegiat media sosial, Edy Mulyadi melambaikan tangan saat tiba di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (31/1/2022). Edy diperiksa atas dugaan kasus ujaran kebencian berkaitan dengan pernyataannya tentang pemindahan Ibu Kota Negara (IKN).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian RI mengumumkan bahwa tidak ditemukan unsur pidana dalam kasus ujaran kebencian mengandung SARA yang dilakukan Arteria Dahlan, sehingga dia lolos dari jeratan hukum. Polisi pun mengaku bahwa Arteria memiliki hak imunitas sebagai anggota dewan sehingga tidak dapat dipidana.

Menanggapi putusan ini, pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio membenarkan bahwa Arteria sebagai anggota dewan memang memiliki hak imunitas. Tetapi, Hendri berharap hak imunitas tersebut juga bisa 'diperankan' dalam kasus Edy Mulyadi.

Baca Juga

“Memang hak politik anggota dewan itu memang ada, salah satunya hak imunitas, tapi yang paling penting menurut saya adalah justru sebaiknya bisa mendorong kasus Edy Mulyadi untuk juga diselesaikan di ranah musyawarah mufakat, tidak perlu naik ke ranah pidana juga,” ungkapnya, Jumat (4/2).

“Sehingga Indonesia bisa menjadi Indonesia kembali dengan mengutamakan musyawarah mufakat bila ada persoalan,” tambahnya.

Polda Metro Jaya menyimpulkan bahwa tidak ada unsur pidana terkait dugaan ujaran kebencian bernada suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) terkait pernyataan Arteria soal tuntutan pencopotan Kajati berbahasa Sunda. Penyidik juga telah berkoordinasi dengan saksi ahli pidana, bahasa dan hukum bidang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).  Arteria juga memiliki hak imunitas saat menyampaikan pendapat di persidangan.

"Berdasarkan ketentuan Undang-Undang yang diatur dalam Pasal 224 UU RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau MD3 terhadap saudara Arteria Dahlan dapat disampaikan tidak dapat dipidanakan," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan di Jakarta, Jumat.

Zulpan menjelaskan Pasal 1 undang-undang tersebut menyatakan bahwa "Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan atau pendapat yang dikemukakan baik secara lisan ataupun tertulis di dalam rapat DPR atau pun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR."

Kesimpulan tersebut dilakukan penyidik setelah berkonsultasi dengan saksi ahli pada bidang bahasa, pidana dan hukum Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Selain itu, lanjut Zulpan, pernyataan Arteria Dahlan tidak memenuhi unsur pidana ujaran kebencian.

"Maka pendapat dari saudara Arteria Dahlan dalam persoalan ini tidak memenuhi unsur perbuatan menyebarkan informasi yang bermuatan ujaran kebencian berdasar SARA yang diatur dalam Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE," ujar Zulpan.

Kemudian, ucapan mengenai Bahasa Sunda yang disampaikan oleh Arteria disampaikan saat rapat resmi anggota DPR, sehingga bahasa yang harus digunakan adalah bahasa Indonesia."Konteks penyampaian saudara Arteria Dahlan yaitu dalam sebuah rapat resmi yang harus menggunakan bahasa resmi yakni Bahasa Indonesia dan hal ini juga diatur dalam Pasal 33 UU No.24 Tahun 2009 tentang bendera bahasa dan lambang negara, diantaranya Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi," tutur Zulpan.

Selanjutnya berdasarkan keterangan saksi ahli hukum ITE tidak ditemukan pelanggaran UU ITE karena penyebaran video live streaming Komisi III DPR RI pada saat rapat kerja dengan Jaksa Agung bukan ditransmisikan oleh Arteria Dahlan.Oleh sebab itu dia mengimbau kepada pihak yang merasa dirugikan atas ucapan tersebut untuk melapor kepada DPR RI.

"Yaitu kepada MKD atau majelis kehormatan dewan yang bisa dilakukan masyarakat atau pun pelapor yang merasa dirugikan terhadap persoalan ini," ungkap Zulpan.

Seperti diberitakan sebelumnya, Arteria Dahlan dilaporkan ke Polda Jawa Barat buntut pernyataannya yang meminta jaksa agung mencopot seorang kepala Kejaksaan Tinggi yang berbicara bahasa Sunda.

Pupuhu Agung Dewan Karatuan Majelis Adat Sunda, Ari Husein, menilai pernyataan terbuka Dahlan dalam rapat di DPR itu menjadi penistaan terhadap suku bangsa yang ada di Indonesia, bukan hanya suku Sunda."Kami sengaja melapor, pada intinya adalah pelanggaran konstitusi, ada pasal 32 ayat 2 (UUD 1945) yang harus memelihara bahasa daerah, bukannya melarang bahasa daerah," kata Husein, Kamis (21/1).

Dalam rapat dengan Jaksa Agung, Baharuddin, di Komisi II DPR, Dahlan berkata, "Pak JA (Jaksa Agung), ada Kajati yang dalam rapat, dalam raker itu ngomong pakai bahasa Sunda. Ganti Pak (kepala Kejaksaan Tinggi) itu. Kita ini Indonesia," sebagaimana dilihat dari video di akun YouTube DPR.

Edy Mulyadi tersangka

Sementara itu, polisi telah menetapkan youtuber Edy Mulyadi sebagai seorang tersangka terkait pernyataan 'jin buang anak'.  Pernyataan itu dianggap telah menyinggung warga Kalimantan.

Beda dengan Arteria, Edy menyampaikan kritik itu lewat keterangan bersama yang diunggah ke saluran Youtube milik-nya. Edy juga tak punya imunitas. Status wartawannya pun dipertanyakan. Ia tidak terdaftar di Dewan Pers.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Ahmad Ramadhan mengatakan, tak cuma menetapkan Edy Mulyadi sebagai tersangka, tim penyidik Siber Polri juga resmi melakukan penahanan terhadapnya.

“Setelah dilakukan gelar perkara, hasil dari penyidikan menetapkan EM sebagai tersangka,” ujar Ramadhan di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (31/1/2022).

Ramadhan menerangkan, sangkaan yang menjerat Edy Mulyadi sebagai tersangka. Penyidik menjerat Edy Mulyadi sebagai tersangka Pasal 45 Ayat 2 juncto Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) 11/2008, juncto Pasal 14 Ayat 1 dan Ayat 2, juncto Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, juncto Pasal 156 KUH Pidana. “Ancamannya 10 tahun penjara,” kata Ramadhan.

Edy telah mengklarifikasi makna 'jin buang anak' diartikan sebagai tempat yang jauh. Ia telah meminta maaf dan tak bermaksud untuk melecehkan warga Kalimantan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement