REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel mengajak para kepala daerah di Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk membangun ekosistem industri pangan. “Ini penting untuk memberikan nilai tambah, menjaga keberlanjutan, dan memberikan kesejahteraan kepada para petani, pengrajin, peternak, dan nelayan,” katanya, Kamis (3/2/2022).
Hal itu ia sampaikan saat menerima kunjungan bupati dan wakil bupati dari Dompu, Sumbawa Barat, Lombok Timur, dan Lombok Barat. Mereka didampingi Wakil Gubernur NTB, Sitti Rohmi Djalilah. Sedangkan Gobel didampingi anggota DPR RI dari NTB M Syamsul Luthfi dan dua anggota DPR dari Nusa Tenggara Timur Julie Sutrisno Laiskodat dan Ratu Ngadu Bonu Wulla.
Kunjungan para kepala daerah dari NTB itu dalam rangka menyampaikan aspirasi daerahnya untuk diperjuangkan oleh DPR RI. Dalam paparannya, wakil gubernur menyampaikan bahwa NTB memiliki surplus pangan yaitu untuk produk beras, bawang putih, bawang merah, cabe, dan juga daging sapi. “Sebagian bahkan diekspor ke negara-negara lain,” kata Rohmi.
Hal itu dibenarkan oleh para bupati dan wakil bupati yang mendampinginya. Namun mereka mengaku surplus itu tak diimbangi dengan kesejahteraan petani. Hal ini akibat kualitas produk yang tak selalu memenuhi standar maupun faktor harga yang jatuh di saat musim panen.
“Jadi penduduk kami miskin tapi makanannya paling mahal di dunia. Ini terjadi di desa penghasil lobster. Mereka rutin makan lobster, saking banyaknya produksi lobster,” kata Wakil Bupati Lombok Timur, Rumaksi SJ.
Karena itu, Gobel mengajak para kepala daerah tersebut untuk membangun ekosistem industri pangan. “Mumpung Bapak dan Ibu berkuasa. Gunakan kekuasaan untuk membangun kemakmuran rakyat. Dengan kekuasaan yang ada, Bapak dan Ibu bisa lebih mudah mewujudkan ide-ide dan visinya,” katanya.
Menurutnya, biarkan petani, nelayan, peternak, dan pelaku UMKM fokus untuk berproduksi. Sedangkan hal-hal lainnya menjadi tugas pemerintah dan lembaga-lembaga yang diperuntukkan membantu mereka. Pemerintah, kata Gobel, bisa membantu melalui regulasi, kebijakan, pembinaan, dan kewenangan. Sedangkan untuk keseharian bisa dilakukan oleh koperasi.
“Kita harus kembali ke koperasi. Ini lembaga yang diamanatkan para pendiri bangsa, yang sesuai dengan nilai-nilai kita seperti gotong-royong, tolong menolong, dan seterusnya. Koperasi membantu permodalan, pengelolaan alat-alat, dan juga menjadi off taker,” katanya.
Gobel mengakui persepsi publik terhadap koperasi tak selalu bagus. Karena itu, ia mengajak kepada kepala daerah untuk memperbaiki persepsi tersebut dengan membangun koperasi yang sehat. Menurutnya, banyak pelaku ekonomi mikro maupun petani yang kesulitan mendapat Kredit Usaha Rakyat (KUR) akibat terkendala berbagai macam hal. Melalui koperasi persoalan itu bisa dipecahkan.
“Koperasi tak hanya lebih mudah mendapatkan kredit tapi juga koperasi lebih dekat secara fisik dan emosi dengan masyarakat,” ujar Gobel. Ia juga mengingatkan bahwa sudah ada bank yang memiliki sistem untuk manajemen koperasi. Dengan demikian, bank yang melakukan pembinaan terhadap koperasi.
Menurut Gobel, koperasi juga bertugas mengelola peralatan seperti traktor, penggilingan padi, silo, dan beragam peralatan lainnya. “Selama ini jika diserahkan ke petani langsung kadang tak terawat. Biarkan peralatan itu dikelola ahlinya. Akan tetapi koperasi itu harus milik petani,” jelasnya.
Koperasi juga yang harus menjadi pembeli produk pertanian serta penyedia pupuk dan bibit. Jika koperasi sudah bisa berkembang, operasi juga bisa mengolah hasil pertanian menjadi produk industri. Koperasi juga bisa mengelola rumah potong hewan maupun pengolahan daging sapi. “Khusus soal peternakan ini, koperasi bisa mengelola peternakan terpadu. Jadi jangan diurus sendiri-sendiri. Semua harus dalam konsep dan skala industri,” katanya.
Gobel menyebut melalui pembangunan ekosistem itu masalah pupuk dan bibit yang mahal dan langka bisa diselesaikan. Demikian pula soal harga yang jatuh saat panen. Beras pun tidak lagi berkualitas medium tapi sudah berkualitas premium.
Pada kesempatan itu, para kepala daerah mengeluhkan ekspor mereka harus melalui Bali karena mereka belum memiliki cold storage. Mereka juga menyampaikan perlunya pembangunan infrastruktur jalan, dermaga, bendungan, dan embung. Mereka meminta bantuan eskavator maupun buldozer.