Senin 07 Feb 2022 08:36 WIB

Korut Danai Program Rudal dengan Mencuri Uang Kripto

Para penyerang siber mencuri lebih dari 50 juta dolar AS aset digital.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
 Sejumlah mata uang kripto di dunia, Bitcoin (bawah kanan), Ethereum (tengah), Ripple (kanan), dan Cardano (kiri).
Foto: EPA
Sejumlah mata uang kripto di dunia, Bitcoin (bawah kanan), Ethereum (tengah), Ripple (kanan), dan Cardano (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) melaporkan bahwa, Korea Utara telah mencuri mata uang kripto senilai jutaan dolar untuk mendanai program misil negara. Antara 2020 dan pertengahan 2021, para penyerang siber mencuri lebih dari 50 juta dolar AS aset digital.

"Serangan semacam itu merupakan sumber pendapatan penting untuk program rudal nuklir dan balistik Pyongyang," kata para penyelidik, dilansir BBC, Senin (7/2).

Baca Juga

Serangan siber menargetkan setidaknya tiga pertukaran mata uang kripto di Amerika Utara, Eropa, dan Asia. Laporan tersebut juga merujuk pada penelitian yang diterbitkan bulan lalu oleh perusahaan keamanan Chainalysis yang menunjukkan bahwa, serangan siber Korea Utara dapat menjaring aset digital senilai 400 juta dolar AS pada tahun lalu.

Kemudian pada 2019, PBB melaporkan bahwa Korea Utara telah mengumpulkan sekitar 2 miliar dolar AS untuk program senjata pemusnah massal. Korea Utara menggunakan serangan siber yang canggih untuk mendapatkan uang.

Dewan Keamanan PBB melarang Korea Utara untuk melakukan uji coba nuklir dan meluncurkan rudal balistik. Namun laporan PBB mengatakan bahwa, sanksi tidak mengentikan kemampuan Korea Utara untuk terus mengembangkan infrastruktur nuklir dan rudal balistiknya.

Korea Utara juga terus mencari materi, teknologi, dan pengetahuan di luar negeri, termasuk melalui sarana siber dan penelitian ilmiah bersama. Pemantau sanksi mengatakan, telah terjadi "percepatan yang nyata" dari pengujian rudal oleh Pyongyang. Sementara Amerika Serikat (AS) mengatakan, Korea Utara telah melakukan sembilan uji coba rudal pada Januari lalu.

“DPRK (Republik Rakyat Demokratik Korea) menunjukkan peningkatan kemampuan untuk penyebaran cepat, mobilitas luas (termasuk di laut), dan peningkatan ketahanan pasukan misilnya,” kata pemantau sanksi.

China dan Rusia menolak untuk menandatangani pernyataan yang mengutuk proliferasi peluncuran rudal Korea Utara. Sementara AS mengumumkan bahwa, perwakilan khusus untuk Korea Utara akan bertemu dengan pejabat Jepang dan Korea Selatan akhir pekan ini untuk membahas situasi tersebut.

Di sisi lain, laporan PBB juga menemukan bahwa situasi kemanusiaan di Korea Utara terus memburuk. Situasi ini merupakan hasil dari keputusan negara itu untuk menutup perbatasannya selama pandemi. Kurangnya informasi dari Korea Utara membuat sulit untuk menentukan berapa banyak penderitaan yang disebabkan oleh sanksi internasional.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement