REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron terbang ke Moskow dalam langkah diplomatik yang beresiko. Ia hendak mendapatkan komitmen dari Presiden Rusia Vladimir Putin untuk meredakan ketegangan dengan Ukraina.
Rusia menumpuk sekitar 100 ribu pasukannya di sepanjang perbatasan Ukraina. Negara-negara Barat khawatir Moskow berencana menginvasi negara tetangganya itu. Rusia membantah tuduhan tersebut.
Selama satu pekan terakhir Macron melakukan serangkaian sambungan telepon dengan sekutu-sekutu Perancis di Barat, dengan Putin dan pemimpin Ukraina. Ia menindaklanjutinya dengan berkunjung ke Kiev pada Selasa (8/2/2022) besok.
Macron datang ke Ukraina dengan mempertaruhkan banyak modal politik sebab akan memalukan bila ia pulang dengan tangan kosong. "Kami sedang menuju sarang Putin, dalam banyak cara ini seperti melempar dadu," kata seorang sumber yang dekat dengan Macron, Senin (7/2/2022).
Rusia meminta jaminan keamanan dari aliansi pertahanan Barat, NATO dan Amerika Serikat (AS). Moskow menuntut NATO tidak pernah mengizinkan Ukraina sebagai negara anggotanya.
Dua sumber yang dekat dengan Macron mengatakan tujuan dari kunjungan ini untuk mengulur waktu dan membekukan situasi selama beberapa bulan. Setidaknya sampai pemilihan di negara-negara Eropa seperti Hungaria, Slovenia dan Prancis yang disebut "Super April."
Sejak berkuasa tahun 2017 lalu Macron dikenal dengan diplomasi agresifnya. Ia mencoba mengkonfrontasi dan membujuk Putin selama lima tahun terakhir. Usahanya memperdekat dialog dengan pemimpin-pemimpin Rusia tapi juga mengalami kemunduran yang menyakitkan.
Tidak lama setelah pemilihan, Macron menggelar karpet merah untuk Putin di istana negara, Palace of Versailles. Tapi ia juga menggunakan kunjungan itu untuk mengecam campur tangan Rusia dalam pemilihan umum.
Dua tahun kemudian mereka kembali bertemu di kediaman musim panas presiden Prancis. Tapi tangan terbuka Macron tidak mencegah Rusia masuk ke Afrika yang merupakan lingkup pengaruh Prancis.
Puncak ketika tentara bayaran Rusia tiba di Mali pada tahun tahun lalu. Pemerintah Prancis yakin Kremlin mendukung tentara bayaran itu.
Negara-negara Eropa Timur yang menderita selama puluhan di bawah kekuasaan Uni Soviet mengkritik sikap terbuka Macron pada Rusia. Mereka mencurigai negosiasi Macron "ketertiban Eropa Baru" dengan Rusia.
Macron berusaha menghindari kritik, dalam kunjungannya ke Rusia kali ini ia menggunakan jubah sebagai salah satu pemimpin Eropa. Ia juga berbicara dengan pemimpin-pemimpin Barat lainnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.
Kunjungan presiden Perancis ke Moskow dan Ukraina dilakukan tiga bulan sebelum pemilihan presiden di negara itu. Penasihat politiknya mengatakan kunjungan ini akan memberi manfaat di pemilu walaupun Macron belum mengumumkan apakah ia akan kembali maju.
"Bagi presiden, ini kesempatan untuk menunjukkan kepemimpinannya di Eropa, ia berada di atas keributan," kata salah satu sumber pemerintah Prancis.