REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pendiri Rumah Fiqih Ustadz Ahmad Sarwat Lc. MA mengatakan, larangan bagi wanita yang sedang haidh untuk masuk ke dalam masjid merupakan pendapat jumhur ulama. Jumhur ulama empat mazhab, Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah, sepakat bahwa wanita yang sedang mendapatkan darah haidh diharamkan masuk ke dalam masjid.
Ustadz Ahmad mengatakan, alasan atas larangan ini sebenarnya bukan lantaran takut darah itu mengotori masjid. Juga bukan karena wanita yang sedang haidh itu tidak suci. Namun larangan itu semata-mata karena status wanita yang sedang haidh itu dalam keadaan janabah atau berhadats besar.
"Ketidak-suciannya dalam hal ini bukan karena najisnya, tetapi karena hadatsnya," katanya belum lama ini.
Ada pendapat ulama yang mengatakan bahwa sebab larangan wanita haidh masuk masjid karena takut darahnya akan mengotori masjid, dipatahkan dengan dibolehkannya wanita yang sedang istihadhah masuk ke dalam masjid. Begitu juga orang yang luka berdarah tetapi diperban, tetap diperbolehkan sholat dan masuk masjid.
Ustadz Ahmad menuturkan, setelah kita tahu bahwa haramnya wanita haidh masuk masjid ternyata adalah sesuatu yang telah disepakati oleh mayorias ulama, maka pertanyaan kita kemudian adalah apa dalil serta dasar hujjah para ulama itu?
Dalil atau hujjah yang digunakan para ulama sangat banyak, tidak bisa semua dituliskan disini. Kita cukupkan pada dalil dari ayat Alquran dan sunnah nabawiyah.
Pertama dalil ayat Alquran.
Para ulama sepakat menjadikan ayat ke-43 dari surat An-Nisa' sebagai dalil diharamkannya orang yang berhadats besar masuk ke dalam masjid, di mana termasuk di dalamnya adalah wanita haidh. Allah SWT berfirman :
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub terkecuali sekedar berlalu saja hingga kamu mandi.(QS. An-Nisa' : 43).
Meski pun dzahir ayat ini kata Ustaz Ahmad, berupa larangan mendekati sholat buat orang yang mabuk, namun maksud larangan bagi orang junub pada ayat ini adalah larangan untuk memasuki tempat sholat, yang dalam hal ini khusus berlaku hanya untuk masjid. Hal itu diungkapkan oleh Al-Imam Asy-Syafi'i, dengan beberapa hujjah, antara lain :
a. Sambil Lewat
Pada ayat di atas ada lafadz illa 'abiriy sabilin (إلا غابري سبيل), yaitu kecuali sekedar berlalu saja. Istilah berlalu tentu tidak tepat kalau dimaknai dengan melalukan shalat sambil lalu. Tetapi yang paling mendekati logika adalah berjalan menerobos melalui tempat shalat, yaitu masjid.
Dan makna ini sesuai dengan penjalasan dalam kitab-kitab tafsir bahwa ada sebagian shahabat Nabi SAW yang akses jalan keluar masuk rumahnya harus melalui masjid, seperti rumah Ali bin Abi Thalib. Dengan adanya lafadz : kecuali bila sekedar melintas saja, maka para ulama memberikan pengucualian.
b. Mendekati Sholat
Dalam ayat ini Allah SWT menggunakan lafadz laa taqrabush-shalah (لا تقربوا الصلاة), yaitu jangan mendekati shalat. Istilah mendekati shalat ini berbeda dengan mendekati zina. Makna jangan mendekati zina itu mudah, yaitu jangan membuka aurat, berduaan, berhias yang mencolok dan hal-hal sejenisnya yang akan menyeret orang ke dalam perzinaan.
Tetapi apa yang dimaksud jangan mendekati sholat? Apakah tidak boleh melakukan gerakan yang mirip shalat? Ataukah larangan mendekati orang yang sedang shalat. Jawabnya yang paling masuk akal adalah larangan untuk mendekati tempat sholat yaitu masjid, dan bukan larangan menirukan gerakan shalat atau mendekati orang yang sedang shalat.
c. Sholat Identik dengan Masjid
Alasannya lainnya adalah bahwa di masa nabi, melakukan shalat itu identik dengan datang dan masuk ke dalam masjid. Maka ketika ada larangan untuk masuk ke dalam masjid, bunyi larangannya cukup dengan lafadz : janganlah kalian mendekati shalat.
Kedua dalil Sunnah Nabawiyah.
Haramnya orang yang berhadats besar masuk ke masjid juga dikuatkan dengan dalill dari Sunnah Nabawiyah. Di antarnya adalah hadits berikut ini :
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda ‘Tidak kuhalalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh’. (HR. Abu Daud).
Sebagian kalangan ada yang mengatakan bahwa hadits ini dhaif, sehingga mereka menolak haramnya wanita haidh masuk masjid hanya semata-mata karena dianggap hadits ini dhaif. Namun sebagian ulama yang lain tidak sependapat. Karena ternyata kedhaifan suatu hadits menurut sebagian ulama, tidak lantas menjadikan hadits itu pasti dhaif.
"Dan ternyata sebagian ulama lain berpendapat hadits ini bukan hadits dhaif," katanya.
Adapun pendapat yang membolehkan wanita haidh masuk masjid, juga banyak. Di antara mereka berhujjah dengan anggapan bahwa hadits yang melarang wanita haidh masuk masjid dianggap hadits dha'if. Selain itu juga mereka mendasarkan pendapatnya pada hadits Nabi SAW membolehkan Aisyah masuk ke masjid meski pun sedang dalam keadaan haidh.
Beliau Saw mengatakan kepada Aisyah radhiallahuanha :
Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu berkata bahwa ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam sedang berada didalam masjid beliau berkata: “Hai ‘Aisyah! Ambilkan pakaianku. Aisyah berkata: Sesungguhnya saya sedang haid. Beliau berkata: Sesungguhnya darah haidmu bukan di tanganmu."
Atas itulah, kemudian Aisyah mengambilkannya. Mereka berhujjah bahwa Aisyah radhiyallahuanha yang sedang mendapat haidh ternyata dibolehkan oleh Rasulullah SAW untuk masuk ke dalam masjid. Kalau seandainya dilarang, maka seharusnya beliau SAW tidak membiarkan Aisyah masuk ke dalam masjid.
"Justru malah beliau SAW memerintahkan Aisyah masuk masjid," katanya.
Dan itu berarti hadits ini menjadi hujjah tentang bolehnya wanita haidh masuk ke dalam masjid. Namun jumhur ulama menjawab, bahwa justru hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah. Karena meski dzahir hadits ini seolah-olah membolehkan wanita haidh masuk masjid, bukan berarti boleh untuk berdiam lama dan beri'tikaf.
Kalau hanya lewat sekilas, sejak awal jumhur ulama sepakat membolehkannya. Dan yang dilakukan oleh Aisyah atas perintah Rasulullah SAW hanya sebatas mengambilkan sesuatu keperluan, tidak untuk masuk masjid dalam arti berdiam, i'tikaf atau mengikuti majelis taklim dan pengajian.