REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH – Dewan Pusat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) memulai sesi ke-31 di kota Ramallah, Tepi Barat, Ahad (6/2/2022) waktu setempat. Sesi ini digelar meski beberapa faksi Palestina memboikotnya.
Pertemuan Dewan Pusat PLO digelar dua hari dengan mengangkat tema "Mengembangkan dan Mengaktifkan PLO, Melindungi Proyek Nasional dan Perlawanan Rakyat."
Sesi dengan tema tersebut membahas aktivitas pemukiman Israel, terutama di Yerusalem yang diduduki, serta proses perdamaian yang selalu menemui jalan buntu hingga masalah politik dan domestik lainnya.
Dewan Pusat juga dijadwalkan memilih anggota Komite Eksekutif PLO untuk menggantikan anggota yang telah meninggal dunia atau mengundurkan diri. Sesi ke-31 juga akan memilih kepala Dewan Nasional baru untuk menggantikan Salim al-Zanoun, yang baru-baru ini mengajukan pengunduran dirinya.
"Kami tidak akan menerima kelanjutan pendudukan Israel dan praktik kolonialnya yang melanggengkan apartheid dan terorisme pemukim," kata Presiden Palestina Mahmoud Abbas, berbicara pada sesi pembukaan pertemuan seperti dikutip laman Anadolu Agency, Senin (7/2/2022).
"Dalam menghadapi otoritas pendudukan Israel yang melemahkan solusi dua negara, opsi tetap terbuka, dan seluruh situasi yang ada harus ditinjau untuk menjaga kepentingan rakyat kami dan tujuan kami," ujarnya menambahkan.
Abbas menggarisbawahi bahwa tidak mungkin untuk terus mengimplementasikan perjanjian secara sepihak. Menurutnya kontak dengan pihak Israel bukanlah pengganti solusi politik berdasarkan legitimasi internasional.
Abbas juga mengomentari laporan kelompok hak asasi Amnesty International yang menilai Israel sebagai negara apartheid dalam memperlakukan warga Palestina. Dia mengatakan hal tersebut adalah langkah penting menuju pembuktian realitas kejahatan Israel terhadap rakyat Palestina.
Dia mengulangi seruan mereka untuk mengadakan konferensi perdamaian internasional dan menyediakan mekanisme perlindungan internasional bagi Palestina. Abbas juga menyerukan memperluas ruang lingkup perlawanan rakyat secara damai dalam membela identitas dan keberadaan Palestina.
Presiden dalam pembukaannya juga mendesak faksi-faksi Palestina untuk segera mengakhiri perpecahan internal mereka. Beberapa faksi Palestina termasuk Front Populer untuk Pembebasan Palestina, Inisiatif Nasional Palestina (Al-Mubadara), Front Populer untuk Pembebasan Palestina-Komando Umum dan Pelopor untuk Perang Pembebasan Populer (As-Sa'iqa) telah memboikot pertemuan tersebut.
Alasannya, pertemuan itu diadakan secara sepihak tanpa konsensus nasional. Kelompok perlawanan Palestina Hamas juga mengkritik pertemuan itu dalam sebuah pernyataan Jumat.
"Tidak ada legitimasi untuk pertemuan apa pun yang diadakan secara sepihak, jauh dari konsensus nasional dan mayoritas kekuatan dan faksi serta komponen utama Palestina yang berpengaruh tidak hadir dalam pertemuan itu," kata Hamas dalam pernyataannya Jumat pekan lalu.
Dewan Pusat adalah majelis yang lebih kecil yang berasal dari Dewan Nasional, badan legislatif tertinggi untuk Palestina di dalam dan luar negeri, dan berafiliasi dengan PLO. Khususnya, PLO sejauh ini tidak termasuk kelompok Hamas dan Jihad Islam.
Faksi Palestina menuduh gerakan Fatah, yang dipimpin oleh Abbas, mengecualikan kepemimpinan rakyat Palestina dan tidak mengambil langkah nyata untuk mengakhiri perpecahan internal, yang dibantah oleh gerakan itu. Fatah adalah faksi terbesar dari konfederasi multi-partai PLO.
Sumber: anadolu