REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu menegaskan bahwa Turki tidak akan mengabaikan komitmennya terhadap negara Palestina, di tengah upaya untuk memperbaiki hubungan dengan Israel.
Berbicara kepada wartawan di Ankara pada Selasa (8/2/2022), Cavusoglu mengatakan potensi normalisasi hubungan antara Turki dan Israel dapat meningkatkan peran Ankara dalam mengupayakan solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina, tetapi mengatakan Ankara tidak akan berkompromi dengan pendiriannya.
"Setiap langkah yang kami ambil dengan Israel mengenai hubungan kami, normalisasi apa pun, tidak akan mengorbankan perjuangan Palestina, seperti beberapa negara lain," kata Cavusoglu, merujuk pada pemulihan hubungan antara Israel dan beberapa negara Teluk yang membuat marah Turki.
"Posisi kami selalu jelas. Hubungan ini sedikit lebih normal dapat meningkatkan peran Turki mengenai solusi dua negara juga, sebagai negara yang akan berhubungan dengan kedua negara---tetapi kami tidak akan pernah mengabaikan prinsip-prinsip inti kami."
Turki dan Israel saling mengusir duta besar masing-masing pada 2018 setelah perselisihan sengit dan hubungan tetap tegang, tetapi Ankara telah mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki hubungan regional yang tegang, termasuk dengan Israel. Potensi perbaikan hubungan kedua negara ditandai dengan rencana kunjungan Presiden Israel Isaac Herzog ke Turki.
Presiden Turki Tayyip Erdogan mengatakan Herzog akan mengunjungi Turki pada pertengahan Maret, yang akan menjadi perjalanan pertama pemimpin Israel ke Turki dalam beberapa tahun terakhir. Ankara, yang mendukung solusi dua negara, telah mengutuk pendudukan Israel di Tepi Barat dan kebijakannya terhadap Palestina, sementara Israel telah meminta Turki untuk menghentikan dukungan bagi kelompok militan Palestina Hamas yang menguasai Gaza.
Negara-negara Teluk yang kembali menjalin hubungan dengan Israel telah berusaha untuk meyakinkan rakyat Palestina bahwa mereka tidak meninggalkan perjuangan Palestina untuk membentuk sebuah negara. Meskipun, para pemimpin Palestina telah mengecam kesepakatan itu sebagai pengkhianatan terhadap tujuan mereka.