Rabu 09 Feb 2022 10:49 WIB

Pendonor Tunisia Kecam Pembubaran Dewan Yudisial

Dewan Yudisial menolak pembubaran yang dinilai ilegal dan merusak independensi hakim

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Presiden Tunisia Kais Saied
Foto: AP/Slim Abid/Tunisian Presidency
Presiden Tunisia Kais Saied

REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Pendonor-pendonor Tunisia dari Barat mengungkapkan "sangat khawatir' dengan langkah Presiden Kais Saied membubarkan lembaga yang bertugas memastikan independensi peradilan. Setelah ia merebut seluruh kekuasaan dalam aksi yang oposisi sebut kudeta tahun lalu.

Sementara menteri luar negeri Tunisia berusaha menghilangkan kekhawatiran tersebut. Pada Ahad (6/2) lalu Saied mengumumkan pembubaran Dewan Tertinggi Yudisial. Lembaga tersebut menolak pembubaran yang menurut mereka ilegal dan upaya untuk merusak independensi hakim.

Pada Selasa (8/2) ketua dewan Youssef Bouzakher mengatakan anggota dewan tersebut menolak desakan Saied untuk membubarkannya. Mereka juga membahas langkah selanjutnya.

"Peradilan yang transparan, independen, dan efesien dan pemisahan kekuasaan sangat penting agar demokrasi berkerja untuk melayani rakyat," kata duta-duta besar negara kaya G7 untuk Tunisia dalam pernyataan gabungan mereka.

Menteri Luar Negeri Tunisia  Othman Jarandi yang menjamu para duta besar dan perwakilan Komisi Hak Asasi manusia menjelaskan tujuan Saied membubarkan Dewan Yudisial adalah untuk mereformasi peradilan. "Keputusan presiden sama sekali tidak bertujuan untuk menjatuhkan peradilan", katanya.

Tunisia mengalami krisis keuangan publik, rakyatnya sudah mengeluhkan kelangkaan sejumlah berang. Gubernur bank sentral juga memperingatkan perekonomian negara itu dapat ambruk seperti Venezuela dan Lebanon.

Tunisia memulai pembicaraannya dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mendapatkan paket penyelamatan yang diperlukan untuk membantu keuangan mereka. Sementara pendonor mendesak Saied untuk mengadopsi pendekatan inklusif dalam melakukan reformasi.

Presiden berjanji mempertahankan hak-hak  dan kebebasan yang dimenangkan rakyat Tunisia pada revolusi 2011 yang memicu Arab Spring dan membawa demokrasi. Tapi langkah terbarunya memicu kekhawatiran pada supremasi hukum.

Pada bulan Juli lalu ia membekukan parlemen dan membubarkan perdana menteri. Ia mengatakan dapat memutuskan hal itu melalui dekrit sambil mempersiapkan konstitusi baru yang akan dimasukan dalam referendum musim panas ini.

Namun kelompok hak asasi manusia khawatir ia semakin otoriter. Langkah terbarunya menarik sistem peradilan di bawahnya dapat membuat ia memiliki wewenang penuh pada semua cabang kekuasaan.  

Komisioner Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet juga mendesak Saied memulihkan Dewan Tertinggi Yudisial. Ia memperingatkan pembubaran mereka "akan sangat merusak supremasi hukum."

Organisasi hak asasi Amnesty International mengatakan langkah itu menimbulkan "ancaman besar bagi hak memiliki pengadilan yang adil di Tunisia". Sebagai bentuk protes hakim-hakim Tunisia akan menangguhkan semua pengadilan pada Rabu dan Kamis (10/2) besok.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement