Rabu 09 Feb 2022 16:21 WIB

Status Gunung Anak Krakatau Belum Perlu Dinaikkan, Masih Waspada

Karakteristik GAK identik dengan Gunung Honga Tonga di Kepulauan Tonga.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Agus raharjo
Gelombang tinggi disertai angin kencang menerjang kawasan tersebut di Teluk Labuan, Pandeglang, Banten, Ahad (6/2/2022). Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menghimbau masyarakat agar mewaspadai adanya gelombang tinggi yang terjadi di perairan Selat Sunda akibat dampak erupsi Gunung Anak Krakatau (GAK).
Foto: ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas
Gelombang tinggi disertai angin kencang menerjang kawasan tersebut di Teluk Labuan, Pandeglang, Banten, Ahad (6/2/2022). Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menghimbau masyarakat agar mewaspadai adanya gelombang tinggi yang terjadi di perairan Selat Sunda akibat dampak erupsi Gunung Anak Krakatau (GAK).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Eko Budi Lelono mengatakan status Gunung Anak Krakatau saat ini masih dalam status waspada. Tim Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) terus melakukan evaluasi data secara menyeluruh untuk melakukan estimasi potensi ancaman bahaya yang ada ke depan.

"Belum perlu kenaikan status," ujar Eko saat konferensi pers secara virtual, Rabu (9/2/2022).

Baca Juga

Eko menambahkan, apakah ada keterkaitan aktivitas Gunung Anak Krakatau (GAK) dengan gempa bumi yang terjadi beberapa waktu lalu di Banten, hal tersebut perlu dilakukan analisis data terlebih dahulu. "Namun, kami melihat berdasarkan data pemantauan, menunjukkan overpressure di Gunung Anak Krakatau sudah terjadi sebelum gempa Banten," ujar dia.

Secara karakteristik, Gunung Anak Krakatau identik dengan Gunung Honga Tonga di Kepulauan Tonga yang menimbulkan kejadian tsunami pada Januari 2022. Namun, Eko menjelaskan berdasarkan data pemantauan, kemungkinan hal tersebut terjadi di Gunung Anak Krakatau sangat kecil karena beberapa alasan.

"Pertama adalah karena volume intrusi magma di Gunung Anak Krakatau saat ini belum besar yang terindikasi dari seismik, deformasi dan kandungan gas SO2. Dan yang kedua adalah ketinggian puncak Gunung Anak Krakatau saat ini kurang dari 100 meter, sedangkan pada tahun 2018 lalu ketinggian puncaknya melebihi 300 meter dan akibat ketidakstabilan lereng, maka mengalami longsor atau runtuh," tuturnya.

Dalam menghadapi erupsi Gunung Anak Krakatau, Eko mengaku Badan Geologi telah melakukan beberapa langkah. Yaitu dengan mengirimkan tim tanggap darurat untuk mengevaluasi data secara komprehensif. Kemudian melakukan koordinasi dengan BMKG dan BPBD terkait penguatan pemantauan Gunung Anak Krakatau, analisis potensi longsoran dan penguatan early warning system tsunami.

"Kami menyarankan untuk menempatkan tide gauge dan buoy pada pulau terdekat Gunung Anak Krakatau, sehingga informasi potensi terjadinya tsunami dapat diketahui sebelum gelombang tsunami sampai ke pantai," kata Eko.

Pada kesempatan yang sama, Kepala PVMBG, Badan Geologi Kementerian ESDM Andiani mengatakan, pemantauan Gunung Anak Krakatau dilakukan selama 24 jam penuh. Andiani mengatakan, untuk mendapatkan informasi terkini tentang bencana geologi, masyarakat dapat mengunduh aplikasi Magma Indonesia.

"Karena aplikasi ini sangat bermanfaat untuk mengetahui kondisi kebencanaan secara realtime termasuk bencana gunungapi di dalamnya" tutup Andiani.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement