Cerita Warga Saat Terjadi Penangkapan Polisi di Desa Wadas
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Kendaraan Kepolisian parkir di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). Diketahui, pada Selasa (8//2/2022) kemaren 63 orang khususnya 56 warga Wadas ditangkap kepolisian. Para warga yang ditangkap adalah mereka yang bersikeras menolak lahannya dibebaskan untuk penambangan batu adesit. Luas tanah yang akan dibebaskan mencapai 124 hektar.Batu andesit yang ditambang dari Desa Wadas ini sedianya akan digunakan sebagai material untuk pembangunan Waduk Bener yang lokasinya masih berada di Kabupaten Purworejo. | Foto: Wihdan Hidayat / Republika
REPUBLIKA.CO.ID, PURWOREJO -- Polisi menangkap setidaknya 64 orang saat pengukuran tanah di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Kapolda Jateng, Irjen Pol Ahmad Luthfi, membantah adanya kekerasan yang menimpa ibu-ibu di Desa Wadas.
"Tidak ada, tidak ada," kata Luthfi saat mendampingi Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, saat menemui warga Desa Wadas yang sudah setuju dilakukan pengukuran tanah, Rabu (9/2/2022).
Salah seorang warga Desa Wadas, Siswanto menceritakan, semua bermula pada Ahad (6/2/2022) sore ketika warga melihat banyak polisi bersiap di Polsek Bener dan belakang Polres Purworejo. Selain itu, mereka melihat polisi membuat tenda-tenda.
Saat itu, warga masih bingung para petugas polisi tersebut ingin ke Wadas atau ada keperluan lain. Salah satu warga yang menghubungi Polres Purworejo, mendapatkan jawaban jika mereka cuma ingin kunjungan ke Purworejo, tidak ada informasi mengukur tanah.
Senin (7/2/2022) pagi, beberapa warga melihat polisi yang berpatroli di desa-desa tetangga sekitar Desa Wadas. Sebab, pos-pos polisi tidak pernah ada di Desa Wadas. Para polisi tersebut melakukan rapat di luar Desa Wadas dan rumah-rumah makelar yang ada di dekat Desa Wadas.
Ia menekankan, para polisi tersebut tidak ada kepentingan di Desa Wadas. Hanya ada beberapa warganya yang mempunyai tanah di Wadas, tapi sangat sedikit, tidak sampai 20-30 orang. Setelah itu, warga Desa Wadas tiba-tiba diminta berkumpul di Masjid Krajan.
Jadi, warga secara spontan kumpul di Masjid Krajan dan sekitar 10.00 WIB. Polisi kemudian masuk ke Wadas. Awalnya, yang masuk ke Wadas adalah para petugas brimob membawa senjata dan motor, melepaskan poster-poster penolakan penggusuran di sekitar Desa Wadas.
Setelah itu, polisi bersenjata lengkap membawa tameng, kemudian orang-orang Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan disusul orang-orang yang pro pengukuran. Di pos-pos sendiri, ibu-ibu memang biasa berkumpul untuk mengolah bambu apus menjadi kerajinan besek untuk dijual.
"Alatnya golok untuk belah bambu, pisau untuk menyirat, gergaji untuk memotong bambu, itu diambil semua sama polisi. Polisi menganggap warga membawa senjata tajam," ujar Siswanto.
Padahal, dari pagi ibu-ibu sudah mengerjakan aktivitas itu. Tetapi karena diminta kumpul ke Masjid Krajan alat-alat itu ditinggalkan. Sekitar pukul 11.00 WIB, polisi mendatangi Masjid Krajan dengan kemungkinan jumlah ratusan karena seisi jalan sampai penuh.
Sampai pada waktu zuhur, polisi mengaku ingin shalat zuhur dan mengajak warga untuk mengambil air wudhu. Setelah keluar, ternyata warga langsung dimasukkan ke mobil-mobil polisi. Siswanto menegaskan, tidak ada ricuh apalagi provokasi.
Sebab, ia menambahkan, warga Desa Wadas yang dibawa yang sedang duduk-duduk, mujahadah, tetapi tiba-tiba ditarik dimasukkan ke mobil-mobil polisi. Siswanto menilai, jika ada warga yang memberontak sangat lumrah karena tiba-tiba ditangkap.
"Jadi, kalau dibilang warga membawa senjata tajam, warga melakukan provokasi, ya tidak ada, orang sedang mujahadah, tidak ada," kata Siswanto kepada Republika.