REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tayangan terbaru Netflix, The Tinder Swindler kini tengah jadi perbincangan. Film dokumenter besutan sutradara Felicity Morris itu mengungkap aksi penipuan di aplikasi kencan daring Tinder.
Spesifiknya, The Tinder Swindler mengupas fenomena catfishing. Istilah tersebut merujuk kepada aksi penipuan yang dilakukan di dunia maya, biasanya terjadi dalam konteks hubungan romantis.
Film dokumenter itu menggambarkan alur catfishing yang tersusun rapi. Pelaku memakai kedok identitas palsu dan memikat sejumlah perempuan untuk menjalin hubungan.
Pria Israel bernama Shimon Hayut menipu kaum hawa agar percaya bahwa dia adalah pria kaya, anak saudagar berlian. Hayut lantas meminjam uang dengan alasan tidak ingin terlacak karena bisnis berlian keluarganya.
Selama menggencarkan aksinya, Hayut menggunakan foto dan memo suara palsu. Tidak tanggung-tanggung, dia sukses menipu korban di Norwegia, Finlandia, dan Swedia hingga sekitar 10 juta dolar AS (sekitar Rp 143 miliar).
Tidak diragukan bahwa apa yang dilakukan Hayut merupakan catfishing. Akan tetapi, dari mana sebenarnya istilah itu berasal? Rupanya, istilah tersebut pertama kali digunakan pada film dokumenter Catfish rilisan 2010.
Penggagas istilah tersebut adalah kedua sutradara film dokumenter, Ariel Schulman dan Henry Joost. Kata catfishing lantas semakin populer dengan kemunculan acara realitasnya di MTV. "Catfish: The TV Show" tayang sejak 2012 hingga delapan musim, mencoba menguak kebenaran dan kebohongan seputar kencan daring.
Selain tayangan dan film, media turut berperan menyebarluaskan istilah catfishing. Penggunaannya mengemuka sejak 2013, ketika pemain American football Notre Dame, Manti Te'o, menjadi korban kasus serupa.
Sejak saat itu, catfishing jadi bagian dari leksikon budaya. Profesor psikologi di California State University, San Bernardino, Amerika Serikat, Kelly Campbell, adalah salah satu pakar yang meneliti topik itu secara ekstensif.
Campbell menjelaskan mengapa pelaku catfishing berbohong tentang identitasnya. Alasan utamanya adalah untuk menciptakan sosok ideal dan meningkatkan nilai diri di mata orang lain.
"Seperti wajah menarik, tubuh yang bagus, punya banyak uang, atau ingin punya anak, semua atribut yang dipedulikan orang di pasar kencan," ungkap Campbell, dikutip dari situs resmi Netflix, Jumat (11/2/2022).
Ketika seseorang tidak memiliki atribut tersebut atau merasa tak punya hal untuk ditawarkan, itu menjadi alasan dia menciptakan 'diri' yang palsu. Penipu romansa biasanya mendekati orang hanya untuk mendapatkan uang.
Ada alasan lain yang dianggap Campbell cukup berbeda pada kondisi di dunia nyata dibandingkan fenomena catfishing yang ditunjukkan budaya pop. Salah satunya adalah kedok identitas karena butuh hiburan.
Pada beberapa kasus, ada juga mereka yang memilih anonim di romansa daring demi menguji kesetiaan pasangan. Sementara, beberapa orang bertujuan mengetahui kualitas alternatif dalam diri mereka. Misalnya, hendak menjajal seperti apa jadinya jika mereka punya kepribadian, jenis kelamin, atau orientasi seksual yang berbeda.
Pelaku catfishing lazimnya memilih target yang hendak disasar, kemudian menyesuaikan diri dengan preferensi orang tersebut. "Saya memberi tahu orang-orang bahwa jika seseorang tampaknya terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan, maka kemungkinan itulah (pelaku catfishing)," ucapnya.