Ahad 13 Feb 2022 12:46 WIB

Peneliti: Sektor Pertanian Indonesia Harus Waspadai Ancaman Perubahan Iklim

Peneliti CIPS ungkap perubahan cuaca ekstrem berdampak besar pada pertanian

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Awan mendung terlihat dari kawasan Gading Serpong dan Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten, Jumat (28/1/2022). Peneliti CIPS ungkap perubahan cuaca ekstrem berdampak besar pada pertanian
Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Awan mendung terlihat dari kawasan Gading Serpong dan Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten, Jumat (28/1/2022). Peneliti CIPS ungkap perubahan cuaca ekstrem berdampak besar pada pertanian

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan iklim tengah menjadi salah satu ancaman sektor pertanian yang harus diwaspadai karena dampaknya yang signifikan. Beberapa dampak perubahan iklim antara lain adalah cuaca ekstrem, seperti hujan lebat, kekeringan, gelombang panas, dan badai tropis yang bisa menganggu produksi pangan.

“Cuaca ekstrem dapat sangat berdampak pada sektor pertanian. Kekeringan yang ekstrem dan curah hujan yang tinggi dapat berdampak buruk pada hilangnya produktivitas tanaman,” kata Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta melalui keterangan tertulisnya, Ahad (13/2/2022).

Baca Juga

Ia mengatakan, perubahan iklim dapat mengganggu ketersediaan pangan dan mengancam ketahanan pangan. Secara sederhana, berkurangnya produksi akan mengakibatkan harga pangan menjadi lebih mahal. Kenaikan harga dapat berdampak pada akses, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan.

Ia melanjutkan, berdasarkan data World Food Programme 2017,  tingginya harga makanan bergizi merupakan faktor terbesar yang menghalangi konsumsi rumah tangga yang lebih besar dan lebih sehat.

Data yang sama juga menunjukkan harga makanan bergizi termurah untuk rata-rata rumah tangga empat orang berjumlah Rp 1.191.883 per bulan. Biaya tersebut lebih dari dua kali lipat rata-rata pengeluaran rumah tangga nasional untuk makanan pada September 2020 yang hanya Rp 588.773 per bulan, berdasarkan data BPS 2020.

Volatilitas harga berdampak signifikan bagi ketahanan pangan Indonesia, karena konsumen dapat mengubah konsumsinya untuk merespons kenaikan harga. Ketika menghadapi kenaikan harga, konsumen mengurangi konsumsi makanan bergizi atau bahkan jumlah keseluruhan makanan mereka.

Baca juga: AP I dan APS Siapkan Ini untuk MotoGP 2022

Penelitian CIPS tentang dampak tingginya harga pangan bagi penerima bantuan sembako menunjukkan, penerima bantuan lebih memprioritaskan beras daripada telur ketika menghadapi kenaikan harga dan akan lebih memilih untuk meningkatkan konsumsi mie instan.

Oleh karena itu, lanjut Felippa, masa depan sistem pangan Indonesia bergantung pada kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dan menciptakan sistem pangan yang tangguh.

"Menciptakan sistem pangan yang tangguh untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim harus menjadi prioritas utama bagi Indonesia," tegasnya.

Lebih lanjut, ia menilai, perdagangan terbuka atau open trade dapat menjadi solusi untuk beradaptasi dengan ancaman perubahan iklim yang sangat mungkin meningkat di masa depan. Perdagangan dapat membantu mendiversifikasi sumber pangan dalam periode pemulihan dari guncangan dan hal tersebut membuat sistem pangan lebih tangguh.

Sistem pangan harus mampu menyediakan pangan yang cukup dan terjangkau bagi penduduknya bahkan pada saat gagal panen atau terjadi bencana. Perdagangan terbuka pun dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan fleksibilitas sistem pangan terhadap perubahan iklim.

“Masa depan sistem pangan Indonesia, salah satunya bergantung pada ketahanannya dalam beradaptasi dengan perubahan iklim. Namun, seiring berkembangnya krisis iklim, dampak fenomena cuaca alam mungkin akan semakin besar," kata dia. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement