Selasa 15 Feb 2022 18:04 WIB

Mahalnya Harga Sebuah Jilbab di India dan Prancis

Larangan jilbab di India dan Prancis adalah Islamophobia yang dilembagakan.

Red: Joko Sadewo
Pelajar India, beberapa memegang plakat, berpartisipasi dalam prosesi untuk memprotes larangan gadis Muslim berhijab menghadiri kelas di beberapa sekolah di negara bagian Karnataka, India selatan, di Kolkata, India, Rabu, 9 Februari 2022. Gadis Muslim berhijab dilarang menghadiri kelas di beberapa sekolah di negara bagian Karnataka, India selatan, yang memicu protes selama berminggu-minggu oleh para siswa.
Foto: AP/Bikas Das
Pelajar India, beberapa memegang plakat, berpartisipasi dalam prosesi untuk memprotes larangan gadis Muslim berhijab menghadiri kelas di beberapa sekolah di negara bagian Karnataka, India selatan, di Kolkata, India, Rabu, 9 Februari 2022. Gadis Muslim berhijab dilarang menghadiri kelas di beberapa sekolah di negara bagian Karnataka, India selatan, yang memicu protes selama berminggu-minggu oleh para siswa.

Oleh : Ani Nursalikah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Bermula dari delapan orang siswi Muslim, protes pelarangan jilbab di institusi pendidikan India terus bergulir seperti bola salju. Makin lama makin membesar.

Mahasiswi Muslim di Perguruan Tinggi Pra-Universitas Negeri (Government PU College) untuk wanita di Udupi, kota di negara bagian Karnataka, India tidak bisa mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas karena sekolah melarang siswi mengenakan jilbab pada 17 Januari 2022. Sekolah memberlakukan larangan jilbab pada awal Januari 2022.  Sejak aturan itu diberlakukan, para siswi yang berjilbab tidak diizinkan masuk ke dalam kelas.

Mereka hanya luntang-lantung menghabiskan waktu di sekitar kampus. Itu karena mereka memilih tetap mempertahankan jilbab mereka. Sekolah pun tidak mencatat kehadiran mereka.

Kepala kampus tersebut, Rudhra Gauda sebelumnya menolak membahas masalah ini dengan orang tua siswa. Gauda mengklaim para siswa kerap melepas jilbab dan burqa setelah mereka memasuki ruang kelas.

Gauda mengatakan para siswa dapat mengenakan jilbab di lingkungan sekolah, tetapi tidak di dalam ruang kelas. Alasannya, demi memastikan keseragaman di sekolah.

Baca juga : Sekolah di India Kembali Dibuka dengan Pengawasan Ketat Seusai Polemik Jilbab

Satu per satu keluhan siswi Muslim soal larangan jilbab mengemuka. Protes pun meletus. Massa mengatakan hak mempraktikkan agama secara bebas dijamin dalam Konstitusi India pasal 25/28.

Di Karnataka, lonjakan kekerasan terhadap Muslim telah meningkat. Sepanjang 2021, terjadi lonjakan dalam kekerasan secara keseluruhan terhadap Muslim di India. Sebuah pelacak kejahatan rasial independen telah mendokumentasikan ratusan kejahatan rasial terhadap Muslim dalam empat tahun terakhir.

Isu ini menjadi sorotan karena India sendiri kerap menyatakan negara itu adalah negara sekuler, yang menghormati semua agama. Namun, sejak kedatangan Modi dan pemerintahan dari sayap kanan Hindu nasionalis BJP pada 2014, umat Islam menjadi sasaran tidak hanya melalui undang-undang tetapi juga melalui propaganda yang didukung pemerintah yang menjelek-jelekkan keberadaan umat Islam.

Sejumlah tokoh memberikan tanggapannya soal larangan ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pakistan, dan Bangladesh juga turut bersuara soal larangan ini. "Menolak membiarkan anak perempuan pergi ke sekolah dengan jilbab mereka itu mengerikan. Obyektifikasi terhadap perempuan tetap ada. Para pemimpin India harus menghentikan marginalisasi terhadap perempuan Muslim," tulis peraih Nobel Perdamaian Malala Yousafzai di  akun Twitter-nya.

Baca juga : Ketegangan Soal Jilbab Capai Negara Bagian Terpadat India

Di belahan benua lain, hal yang sama juga menimpa Muslimah berjilbab. Senat Prancis mendukung larangan atlet Muslimah berjilbab mengikuti kompetisi olahraga. Majelis tinggi parlemen Prancis pada Selasa (18/1/2022) menggelar voting dan menyetujui larangan tersebut melalui hasil 160 suara berbanding 143. Larangan tersebut diketahui diusulkan oleh kelompok sayap kanan, Les Republicains.

Prancis memang dikenal dengan nilai sekulernya. Sebelumnya, Les Bleus juga sudah memberlakukan larang jilbab di tempat umum dan sejumlah institusi pemerintahan.

Pegiat HAM Maria De Cartena menyebut langkah senat itu bukti islamofobia yang dilembagakan. Awal bulan ini, sebuah penelitian di Prancis menemukan kecenderungan kuat oleh media negara itu memberikan waktu tayang kepada suara-suara sayap kanan dan memperkuat pandangan pinggiran mereka. Sebelumnya, tahun lalu parlemen Prancis melarang perempuan Muslim mengikuti kegiatan perjalanan sekolah anak-anak sembari mengenakan jilbab.

Tak tinggal diam, aktivis Prancis meluncurkan kampanye dan membuat petisi di media sosial. Mereka mendesak anggota parlemen membatalkan amandemen undang-undang tentang demokratisasi olahraga yang akan melarang perempuan mengenakan jilbab dalam kompetisi olahraga.

“Les Hijabeuses” adalah sebuah kampanye yang diluncurkan oleh kelompok keadilan sosial Citizen Alliance. Kelompok itu membagikan petisi pada Sabtu (30/1/2022) yang menyerukan kebijakan baru yang kontroversial itu dibatalkan.

“Amandemen ini, jika disahkan oleh Majelis Nasional, berarti ribuan perempuan yang tinggal di Prancis yang mengenakan cadar akan sekali lagi dikucilkan, dipinggirkan, dan distigmatisasi,” demikian petisi tersebut.

Baca juga : Larangan Jilbab di India, Agenda Partai Penguasa, dan Keprihatinan Dunia

Di Prancis, aksi Islamofobia semakin mengkhawatirkan, mulai dari penutupan masjid, larangan operasional badan amal Muslim terbesar di negara itu dan organisasi anti-Islamofobia. Padahal, Prancis merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di Eropa, lebih dari lima juta jiwa. Ternyata, itu tidak menjadi jaminan Muslim bisa menjalankan keyakinannya secara bebas.

Dua kasus di atas menjadi bukti, sepotong kain yang kita sebut jilbab atau hijab nyatanya masih belum diterima penuh, bahkan oleh negara. Umat Muslim sampai saat ini masih berjuang untuk bisa menjalankan perintah agamanya dengan bebas tanpa was-was. Bagi Muslimah di Tanah Air, hal ini bisa menjadi renungan agar kebebasan memakai jilbab yang kita rasakan saat ini tidak taken for granted.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement