REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesenjangan infrastruktur menjadi salah satu tantangan transformasi digital nasional. Ketua Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), Santoso Liem menyampaikan transformasi butuh kesiapan dari para pelaku industri baik bank maupun non bank.
"Adanya kesenjangan sistem infrastruktur dari masing-masing pelaku industri masih menjadi tantangan transformasi," katanya dalam Leader's Talks: Indonesia Amidst Challenges of Digital Payment, Collaborative Approach to Recover Stronger, Senin (14/2).
Hingga saat ini, masih ada perbedaan sistem teknologi yang diadopsi antara satu bank dan lainnya. Bank besar punya kapabilitas untuk melakukan transformasi sementara ada bank lain yang sulit melakukannya.
Termasuk dalam hal implementasi BI-FAST, Santoso mengatakan industri terus berupaya untuk dapat bergabung dengan teknologi canggih tersebut. BI-FAST pun memungkinkan keterhubungan dengan berbagai kemampuan bank.
Ketua B20 KADIN, Shinta Kamdani menambahkan masih banyak tantangan digitalisasi yang harus dihadapi. Tidak hanya dari sisi kesiapan pelaku industri tapi juga masyarakat penggunanya.
"Kesenjangan infrastruktur digital itu masih ada dan cukup signifikan," katanya.
Mulai dari akses jaringan yang sampai saat ini masih sulit terjangkau terutama di sejumlah daerah. Selain akses terhadap internet yang masih tidak setara juga kesenjangan kapabilitas digital seperti kurangnya talenta-talenta digital Indonesia.
"Kita masih sangat kekurangan profesional di bidang digital, di bidang otomasi, engineering, cyber security, itu sangat krusial," kata Shinta.
Digital skill dan literasinya juga masih sangat rendah. Sejumlah survei juga menyebut bahwa perusahaan merasa kesulitan melatih talenta-talenta digital lokal.
Tantangan lainnya adalah masih banyak populasi unbanked Indonesia yang jumlahnya mencapai 66 persen dari total penduduk Indonesia. Akses pada inklusi finansial tersebut harus serius digarap oleh semua pihak terlibat.
"Terutama kalau kita ingin mengangkat mereka yang UMKM," katanya.