REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Perdana Menteri Israel Naftali Bennett akan berkunjung ke Bahrain dalam pertemuan tingkat tinggi pertama sejak kedua negara memperbaiki hubungan tahun 2020 lalu. Kesepakatan yang didukung Amerika Serikat (AS) tersebut didasari kekhawatiran bersama mengenai Iran.
Kantor Perdana Menteri Israel mengatakan Bennett akan bertemu Perdana Menteri sekaligus Putra Mahkota Bahrain Pangeran Salman bin Hamad al-Khalifa. Mereka akan membahas penguatan hubungan bilateral.
"Para pemimpin akan membahas cara tambahan memperkuat hubungan bilateral, terutama dalam isu diplomatik dan ekonomi yang menekankan pada teknologi dan inovasi," kata Kantor Perdana Menteri Israel dalam pernyataannya, Senin (14/2/2022).
Kunjungan dua hari ke Bahrain yang menampung markas besar Angkatan Laut Amerika Serikat di Teluk Arab itu digelar di tengah ketegangan usai kelompok Houthi di Yaman menyerang Uni Emirat Arab (UEA) dengan rudal. Kelompok yang memerangi koalisi Arab Saudi di Yaman itu didukung Iran.
Pada 2 Februari lalu Manama juga kedatangan menteri pertahanan Israel yang mengatakan akan menugaskan perwira militer Israel di Bahrain sebagai bagian koalisi internasional. Tidak hanya pertahanan, Israel juga meningkatkan perdagangan dengan negara itu.
Tahun lalu perdagangan Israel dengan Bahrain dilaporkan mencapai 6,5 miliar dolar Amerika Serikat. Kedua negara juga membuka penerbangan langsung.
Pemerintah Muslim Sunni dikritik oposisi yang mayoritas syiah. Banyak masyarakat Bahrain yang menggelar protes sebagai bentuk solidaritas pada rakyat Palestina.
Pada 2020 lalu Israel juga menormalisasi hubungan dengan Uni Emirat Arab. Sejak dua tahun lalu Israel meningkatkan kerja sama dengan negara-negara Teluk.
Selain Uni Emirat Arab dan Bahrain, Amerika Serikat pun membantu Israel melakukan normalisasi diplomatik dengan Sudan serta Maroko.
Washington menghapus Sudan dari daftar negara pendukung terorisme sebagai aksi timbal balik atas kesediaannya membuka hubungan resmi dengan Tel Aviv. Kemudian terkait Maroko, sebagai balasan, Amerika Serikat mengakui klaim negara tersebut atas wilayah Sahara Barat yang dipersengketakan.
Palestina mengecam kesepakatan damai yang dilakukan empat negara Muslim tersebut. Menurut Palestina, apa yang dilakukan keempat negara terkait merupakan “tikaman” bagi perjuangannya memperoleh kemerdekaan.