Belum lagi pandemi Covid-19 pungkas, dunia sudah dihadapkan dengan potensi bencana kelas dunia selanjutnya. Hingga pertengahan Februari 2022 ini, ratusan ribu pasukan Rusia terus dikirim mengepung perbatasan Ukraina dengan ancaman invasi yang disebut intelijen Gedung Putih bisa terjadi dalam hitungan hari.
Apa yang membuat Rusia sedemikian agresif tak sebegitu jelas. Alasan Presiden Rusia Vladimir Putin, ia tak ingin Ukraina jadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Pada masa perang dingin, NATO ini adalah lawan utama kesepakatan militer bikinan Uni Soviet, yakni Pakta Warsawa.
Sementara buat warga Ukraina, alasan Putin itu hanya tipu-tipu semata. Intinya, Rusia masih tak rela Ukraina, dan tentunya Krimea yang demikian strategis di tepi Laut Hitam itu, lepas dari cengkeraman mereka. Meski sudah secara resmi menjadi negara dan cabut dari Uni Soviet pada 1991, Rusia masih terus ingin menancapkan pengaruhnya di Ukraina.
Nah, kelakuan Rusia yang macam begini ini bukan barang baru, merujuk para sejarawan di Canadian Institute of Ukrainian Studies (CIUS) di University of Alberta/University of Toronto. Ia terkait erat dengan nafsu ekspansionisme Kekairasan Rusia masa lalu.
Alkisah, pada abad ke-17, Kekaisaran Rusia dengan pengusanya Peter I sangat berambisi menguasai pelayaran di Laut Hitam. Mereka kemudian menyelimuti rencana ekspansi wilayah itu dengan samaran untuk melindungi Kristen Ortodoks dari Turki Utsmani, pembebasan Balkan dari cengkeraman Turki Utsmani, serta mencegah perluasan wilayah Turki di bagian selatan Ukraina dan Krimea.
Hal itu memicu serangkaian perang Russo-Turki yang berlangsung dalam jangka 200 tahun. Perang-perang tersebut lebih kerap di seputar upaya kedua imperialis menguasai bagian selatan Ukraina.
Saat itu, justru ribuan Cossaks dan warga Ukraina yang berperang untuk Rusia melawan Turki. Perang panjang itu berayun pada kejayaan imperialis Rusia.
Sementara di Krimea, Rusia terlibat perang saat berupaya merebut wilayah itu dari Khanate Krimea pada pertengahan abad ke-19. Rusia berdalih melindungi komunitas Kristen Ortodoks dari kekuasaan Utsmani. Uniknya, Prancis dan Inggris yang sat itu merupakan kerajaan Katolik justru mendukung Turki Utsmani karena pemeluk Katolik diperlakukan lebih baik di wilayah Turki. Mulanya, Rusia dipaksa menyerah dalam perang tersebut. Namun, selepas perang Fanco-Prussia pada akhir abad ke -19 kembali menancapkan kekuasannya.
Kemenangan pada perang Russo-Turki kemudian dilanjutkan Catherine yang Agung dengan depopulasi etnis Turki dan Muslim dari Ukraina. Caranya, warga Rusia, Bulgaria, Serbia, Yunani, diekspor ke wilayah tersebut.
Saat kemudian revolusi Rusia terjadi dan Uni Soviet berdiri pada awal abad ke-20, Ukraina jadi korban, Jutaan tewas dalam perang sipil revolusi tersebut. Serangkaian bencana kelaparan juga terjadi di Ukraina di bawah penguasaan Soviet. Belum lagi jutaan yang gugur sebagai tentara Uni Soviet pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Hingga akhirnya pada 1991, menyusul bubarnya Uni Soviet, Ukraina jadi negara merdeka. Bagaimanapun, perang proksi belum selesai di negara tersebut. Politik di Ukraina, terutama sejak 2004 adalah soal perebutan kekuasaan antara calon yang didukung Amerika Serikat dan sekutu di NATO melawan calon yang disokong Rusia.
Puncaknya, aksi unjuk rasa Euromaidan yang dimulai pada NOvember 2013 mendongkel Presiden Ukraina Viktor Yanukovych yang pro-Rusia. Sebagian warga Ukraina jengkel karena Yanukovych menunda kesepakatan dengan Uni Eropa. Penundaan itu dicurigai atas pengaruh Rusia.
Setelah jagoannya didongkel, Rusia meradang. Dengan pengaruhnya, Rusia memicu deklarasi kembali ke Rusia di Krimea. Rusia kemudian mencaplok Krimea pada 2014 yang memicu kemarahan AS dan sekutu NATO.
Pada Mei 2014 Separatis pro-Rusia di wilayah Donetsk dan Luhansk mengumumkan kemerdekaan dari Ukraina. Rangkaian peristiwa sejak Euromaidan menewaskan sedikitnya 13.000 orang, seperempatnya warga sipil.
Setelah sejumlah gesekan dengan AS, pada Maret 2021 Rusia mengerahkan pasukan dalam jumlah besar ke wilayah perbatasan dengan Ukraina dan menggelar latihan militer.
Sedangkan Juni 2021, NATO bersama Ukraina melakukan latihan militer di Laut Hitam. Tindakan itu disebut Presiden Rusia Vladimir Putin mengancam Rusia.
Rencana aneksasi Rusia kian nyata saat pada Juli 2021 Putin melansir tulisan panjang menerangkan bahwa Rusia dan Ukraina adalah "Satu Rakyat". Presiden AS Joe Biden kemudian menelepon Putin mewanti-wanti agar tak menyerang Ukraina dengan ancaman sanksi keras pada Desember 2021.
Hingga akhir Januari 2022, diperkirakan sebanyak 100 ribu pasukan Rusia beserta alat tempur telah siap di perbatasan dengan Ukraina. Sementara AS menyiagakan 8.500 pasukan. NATO juga mengirim bantuan militer ke Ukraina.
Jika perang meletus, yang mudah-mudahan tidak, dampaknya bisa mendunia. Seperti yang dulu-dulu, pembaca yang budiman, perang di Eropa sudah dua kali menjadi perang dunia. Setelah dua tahun lebih dihajar pandemi, agaknya perang macam begitu bukan hal yang paling dibutuhkan warga dunia.