Selasa 15 Feb 2022 09:25 WIB

PBB Desak Rusia dan Ukraina Mengedepankan Diplomasi

PBB mendesak para pemimpin dunia mengintensifkan diplomasi

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
 Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres
Foto: AP/Hassan Ammar
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres khawatir dengan meningkatnya ketegangan di Ukraina dan meningkatnya spekulasi tentang konflik militer. Dia mendesak para pemimpin dunia mengintensifkan diplomasi untuk menenangkan situasi.

"Kami sama sekali tidak dapat menerima kemungkinan konfrontasi yang membawa bencana seperti itu. Tidak ada tempat untuk retorika yang menghasut. Pernyataan publik harus ditujukan untuk mengurangi ketegangan, bukan mengobarkannya," ujar Guterres.

Pada Senin (14/2/2022) Guterres berbicara secara terpisah dengan menteri luar negeri Rusia dan Ukraina. Guterres menekankan bahwa, Piagam PBB mengharuskan semua negara anggota untuk menahan diri dari penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial serta kemerdekaan politik negara mana pun.

“Meninggalkan diplomasi untuk konfrontasi bukanlah langkah yang melampaui batas, ini adalah sebuah penyelaman di atas tebing. Singkatnya, seruan saya adalah, jangan menggagalkan tujuan perdamaian," kata Guterres.

Juru bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan, PBB tidak berencana untuk mengevakuasi atau merelokasi sekitar 1.600 stafnya dari Ukraina. Sebanyak 220 staf PBB di Ukraina adalah warga negara asing. Sementara lebih dari 1.400 lainnya adalah warga Ukraina.

Rusia mengerahkan lebih dari 100 ribu tentara di dekat perbatasan Ukraina. Rusia menyangkal tuduhan Barat bahwa mereka merencanakan invasi. Namun Moskow mengatakan, merema bisa mengambil tindakan "teknis militer" yang tidak ditentukan kecuali serangkaian tuntutan mereka dipenuhi. Salah satunya melarang Kyiv bergabung dengan aliansi NATO.  

Rusia siap untuk berbicara dengan Barat untuk mencoba meredakan krisis keamanan.  Dalam percakapan yang disiarkan televisi, Presiden Rusia Vladimir Putin bertanya kepada Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov, apakah ada kemungkinan kesepakatan untuk mengatasi masalah keamanan Rusia, atau apakah Rusia terseret ke dalam negosiasi yang berliku-liku.

"Kami telah memperingatkan lebih dari sekali bahwa kami tidak akan membiarkan negosiasi tanpa akhir atas pertanyaan yang menuntut solusi hari ini. Tampaknya bagi saya bahwa kemungkinan kita masih jauh. Pada tahap ini, saya akan menyarankan untuk melanjutkan dan membangunnya," kata Lavrov menanggapi pertanyaan Putin.

Negara-negara Barat telah mengancam akan menjatuhkan sanksi skala besar jika Rusia menyerang Ukraina. Kelompok Tujuh (G7) memperingatkan bahwa, mereka akan menjatuhkan sanksi ekonomi dan keuangan yang  memiliki konsekuensi besar pada ekonomi Rusia.

Moskow mengatakan, upaya Ukraina untuk bergabung dengan NATO merupakan ancaman. Sementara NATO tidak memiliki rencana untuk menarik Ukraina. Negara-negara Barat mengatakan, mereka tidak dapat bernegosiasi mengenai hak negara berdaulat untuk membentuk aliansi.

sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement