Selasa 15 Feb 2022 14:36 WIB

Ferdinand Didakwa Siarkan Kabar Bohong dan Ujaran Kebencian

Ferdinand menyiarkan kabar bangsa ini tak teduh karena Bahar bin Smith tak ditahan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Ratna Puspita
Ferdinand Hutahaean didakwa melakukan tindak pidana menyiarkan pemberitahuan bohong dengan tujuan menerbitkan keonaran di masyarakat dan ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). (Foto: Ilustrasi Ferdinand Hutahaen)
Foto: Republika
Ferdinand Hutahaean didakwa melakukan tindak pidana menyiarkan pemberitahuan bohong dengan tujuan menerbitkan keonaran di masyarakat dan ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). (Foto: Ilustrasi Ferdinand Hutahaen)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan politikus Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean didakwa melakukan tindak pidana menyiarkan pemberitahuan bohong dengan tujuan menerbitkan keonaran di masyarakat. Pemberitahuan bohong tersebut terkait dengan ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Perbuatan itu dilakukan Ferdinand melalui akun twitter@FerdinandHaean3 dengan postingan 'Allahmu lemah'. "Ferdinand Hutahaean selaku pemilik akun Twitter Ferdinand Hutahaean @FerdinandHaean3 menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang dengan agenda pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Selasa (15/2/2022).

Baca Juga

Jaksa mengungkapkan, pelanggaran pidana yang dilakukan Ferdinand berawal dari beberapa cuitannya di Twitter tentang Bahar bin Smith yang tengah menjalani proses hukum di Polda Jawa Barat. Isi cuitan itu "Hari ini Bahar Smith dijadwalkan diperiksa di Polda Jabar atas ujaran kebencian. Kita dorong Polda Jabar untuk menetapkan Bahar Smith sebagai TERSANGKA dan DITAHAN demi keadilan. Yang setuju dengan saya mohon Retweet". 

Jaksa menilai sejumlah cuitan Ferdinand menandakan kebenciannya terhadap Bahar bin Smith. Menurut jaksa, Ferdinand sangat ingin supaya Bahar bin Smith secepatnya mendekam di tahanan lagi. 

"Untuk memperkuat keinginannya tersebut, Terdakwa menginformasikan kepada masyarakat luas melalui unggahannya bahwa jika Bahar bin Smith tidak ditahan maka bangsa Indonesia seolah-olah akan menjadi tidak teduh," ujar JPU.

Dalam dakwaannya, JPU menjabarkan selama ini Indonesia dalam keadaan aman-aman saja meski Bahar Bin Smith tidak ditahan. Dengan demikian, kehadiran Bahar bin Smith tidaklah menjadi alasan Indonesia menjadi tidak tenteram dan teduh karena keamanan dan ketenteraman selama ini dikendalikan oleh Polri dan TNI. 

"Menyiarkan berita bangsa ini tidak teduh karena Bahar bin Smith tidak ditahan adalah merupakan pemberitahuan bohong yang dilakukan oleh Terdakwa sehingga akibatnya menimbulkan keonaran di kalangan rakyat," ucap JPU.

Selain itu, jaksa memandang Ferdinand sebenarnya mengetahui akibat dari cuitannya yang dibaca masyarakat. Menurut JPU, Ferdinand sengaja memilih kata-kata untuk mendukung rasa bencinya terhadap Bahar bin Smith. 

Isi cuitan pada Selasa tanggal 4 Januari 2022 menjadi puncak kebencian Ferdinand kepada Bahar bin Smith yaitu "Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya, DIA lah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu di bela".

"Yang tersakiti pada kata-kata terdakwa tersebut adalah penganut agama Islam yang ada di seluruh Indonesia dan tidak tertutup kemungkinan juga umat islam yang ada di dunia ini tersinggung dan marah," ujar JPU.

Cuitan tersebut lantas menimbulkan  keonaran publik. Diantaranya aksi demonstrasi di Solo pada 7 Januari 2022 dan tagar #TangkapFerdinand dan #TangkapFerdinandHutahaean. "Unggahan tweet dari akun @FerdinandHaean3 tidak mencerminkan nilai-nilai toleransi beragama. Bahkan unggahan tweet tersebut dapat mengakibatkan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia," ucap JPU. 

Akibat perbuatannya, Ferdinand didakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) atau Pasal 156a huruf a dan/atau Pasal 156 KUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement