REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menanggapi terkait majelis hakim yang menghukum Herry Wirawan seumur hidup di penjara dan menolak untuk tuntutan kebiri. Menurutnya, putusan hakim patut dihargai walaupun belum memuaskan semua pihak.
"Dalam persfektif pasal 82 dari UU RI No. 17 Tahun 2016 tentang penerapan PERPU No. 01 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak yang dituntut JPU terhadap terdakwa dengan ancaman maksimal hukuman mati, kebiri dan ganti rugi korban (retritutive) dan hakim PN Bandung memutuskan hukuman seumur hidup adalah putusan yang spetakuler setelah undang-undang ini diterapkan," katanya saat dihubungi Republika, Selasa (15/2).
Kemudian, ia melanjutkan walaupum belum memuaskan semua pihak tetapi paling tidak membuat para predator anak ketar-ketir akan hal ini. Sehingga, mereka tidak bisa melakukan hal tersebut.
"Predator harus tahu jika mereka berbuat seperti itu kepada anak-anak akan dihukum seumur hidup di penjara," kata dia.
Sebelumnya diketahui, Majelis Hakim PN Bandung yang dipimpin Yohanes Purnomo memvonis Herry Wirawan hukuman seumur hidup, menolak untuk mengabulkan untutan kebiri. Selain itu pembayaran ganti rugi yang diajukan oleh para korban dibebankan kepada negara melalui Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak.
"Apabila dituntut kemudian diputus pidana mati dan penjara seumur hidup yang tidak memungkinkan selesai menjalani pidana pokok maka tindakan kebiri kimia tidak dapat dilaksanakan," ujar salah seorang hakim saat membacakan putusan, Selasa (15/2/2022).
Sementara itu terkait dengan penggantian ganti rugi yang diajukan oleh 12 orang korban dan telah dihitung oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibebankan kepada negara. Dalam hal ini Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (Kemen PPA) sebesar Rp 331 juta.
"Dibebankan kepada negara dalam hal ini kementerian yang mengurusi perlindungan perempuan dan anak," katanya.