Rabu 16 Feb 2022 13:13 WIB

Kementan: Kesadaran Petani Soal Dampak Perubahan Iklim Masih Rendah

Di tahun ini berbagai program Kementan turut diarahkan terhadap isu perubahan iklim

Rep: dedy darmawan nasution/ Red: Hiru Muhammad
Petani menyiangi padi di Desa Porame, Sigi, Sulawesi Tengah, Kamis (9/12/2021). Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan produksi padi pada 2022 sebesar 55,2 juta ton atau sedikit lebih tinggi dari pencapaian produksi padi 2020 yang tercatat Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 54,65 juta ton atau setara beras 31,33 juta ton.
Foto: ANTARA/Basri Marzuki
Petani menyiangi padi di Desa Porame, Sigi, Sulawesi Tengah, Kamis (9/12/2021). Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan produksi padi pada 2022 sebesar 55,2 juta ton atau sedikit lebih tinggi dari pencapaian produksi padi 2020 yang tercatat Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 54,65 juta ton atau setara beras 31,33 juta ton.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kementerian Pertanian menilai kesadaran petani maupun para penyuluh terkait dampak perubahan iklim terhadap produktivitas sektor pertanian masih rendah. Karena itu, pemerintah akan lebih fokus mendampingi petani agar bisa menyiapkan antisipasi terkait efek negatif dari perubahan iklim yang mulai terjadi.

"Saya kira memang masih rendah karena isu terkait ini masih baru," kata Kepala BPPSDMP Kementan, Dedi Nursyamsi dalam konferensi pers, Rabu (16/2/2022).

Baca Juga

Dedi mengatakan, perhatian pemerintah terhadap dampak perubahan iklim juga baru difokuskan terutama sejak Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menjadi Presidensi G20 untuk sektor pertanian.

Karena itu, di tahun ini berbagai program Kementan turut diarahkan terhadap isu tersebut. "Kita sudah ada berbagai program tapi memang sampai level terbawah belum terlalu paham. Makanya kita coba dampingi petani agar mengerti. Sekaligus paham terkait teknologinya," kata Dedi.

Salah satu upaya meminimalisasi perubahan iklim juga mentitikberatkan pada budidaya pertanian yang ramah lingkungan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian . Contohnya dengan pemupukan berimbang menggunakan pupuk organik yang dibuat dari bahan non kimia. 

Hal itu juga tepat dilakukan saat ini mengingat harga pupuk kimia yang terus mengalami kenaikan harga. Sementara, penyediaan pupuk bersubsidi oleh pemerintah juga minim karena tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan.

Menurut perhitungan Kementan, penggunaan pupuk organi bisa mengehmat 15-50 persen penggunaan pupuk kimia. "Kita sudah lama dengungkan pupuk organik bahkan pelatihan-pelatihan yang kita gelar juga menyangkut ini," ujar Dedi.

Ia menuturkan, emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian memang relatif kecil yakni kurang dari 3 persen. Meski demikian, pemerinah sepakat sekecil apapun kontribusinya, tetap harus diturunkan.

Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa, menuturkan, fenomena perubahan iklim tahun ini memang memiliki potensi jika mengacu pada prediksi BMKG.

"BMKG meramalkan akan terjadi badai El-Nino pada tahun ini walaupun lemah. Padahal, tahun lalu terjadi La Nina yang mana kita pun tidak berhasil meningkatkan produksi beras secara signifikan," kata Andreas.

Ia mencatat, peningkatan produksi beras pada 2020 hanya sekitar 0,09 persen adapun pada 2021 hanya 1,1 persen. Padahal dalam dua tahun tersebut terjadi La Nina yang memberikan ketercukupan air di sentra-sentra padi. Menurut Andreas, hal itu perlu dikhawatirkan. Sebab iklim La Nina pada 2016 lalu, misalnya, bisa membawa Indonesia mampu meningkatkan produksi beras hingga 7 persen.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement