Rabu 16 Feb 2022 14:17 WIB

Fahira Idris: Harusnya Herry Wirawan Dihukum Mati

Fahira Idris sebut tuntutan JPU untuk menghukum mati Herry Wirawan sudah tepat.

Rep: M Fauzi Ridwan/ Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 13 santri Herry Wirawan berjalan keluar ruangan usai menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (15/2/2022). Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Bandung menjatuhkan vonis pidana seumur hidup kepada Herry Wirawan atas kasus pemerkosaan 13 santriwati sekaligus diminta membayar restitusi (penggantian kerugian) kepada para korban sebesar Rp331 juta. Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 13 santri Herry Wirawan berjalan keluar ruangan usai menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (15/2/2022). Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Bandung menjatuhkan vonis pidana seumur hidup kepada Herry Wirawan atas kasus pemerkosaan 13 santriwati sekaligus diminta membayar restitusi (penggantian kerugian) kepada para korban sebesar Rp331 juta. Foto: Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 13 santriwati, Herry Wirawan. Vonis yang dijatuhkan majelis hakim lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut terdakwa hukuman mati.

Menurut anggota DPD RI Fahira Idris, tuntutan JPU berupa hukuman mati kepada terdakwa predator anak sejatinya adalah tuntutan yang sangat tepat. Namun dirinya juga menghormati keputusan majelis hakim yang memvonis predator anak seumur hidup. Karena itu ia mendukung jika JPU ingin mengajukan banding.

Baca Juga

“Walau idealnya kejahatan seperti ini dihukum mati seperti tuntutan JPU, tetapi saya menghormati putusan hakim yang menghukum terdakwa seumur hidup," ujar aktivis perlindungan anak itu dalam keterangan tertulisnya, Rabu (16/2).

Lanjut Fahira, tuntutan hukuman mati juga sesuai dengan sudah dijadikannya kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa. Itu sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) dan ayat (5) jo Pasal 76D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.

"Memang predator anak tidak boleh lagi dikembalikan ke dalam komunitas masyarakat karena akan sangat berbahaya dan menimbulkan trauma besar terutama bagi korban," tegas Fahira.

Meski demikian, kata Fahira, hukuman seumur hidup ini memastikan terdakwa tidak akan kembali lagi ke dalam komunitas masyarakat. Mengingat, kekerasan seksual terhadap anak apalagi korbannya lebih dari satu dan dilakukan berulang-ulang dikategorikan kejahatan luar biasa.

"Karena mempunyai dampak luas bagi korban, keluarga korban dan masyarakat. Kejahatan yang dilakukan terdakwa berlapis-lapis,.mulai dari memperdaya dan mengancam anak-anak, berpotensi mengganggu kesehatan anak baik fisik maupun psikis," tutur Fahira.

Di samping itu, Fahira mengatakan, korban harus melahirkan di usia yang sangat muda. Kemudian kejahatan yang paling keji adalah kekerasan seksual yang dilakukan terdakwa terus menerus dan sistematik. Perbuatan keji terdakwa ini juga menyebabkan keresahan publik luas.

“Saya berharap kasus ini menjadi kasus penting untuk diingat bersama dan menjadi pertimbangan penegak hukum di mana saja bahwa kejahatan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa sehingga hukumannya harus seberat mungkin,” kata Fahira.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement