REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Senior Chatib Basri mengatakan sektor perbankan harus mengantisipasi kemungkinan terjadi perubahan kebijakan pada 2023, baik dari sisi fiskal, moneter, maupun relaksasi kredit."Pada tahun depan, terdapat risiko konsolidasi fiskal, kenaikan bunga bank sentral, dan pada saat yang sama peraturan relaksasi kredit oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan berakhir," ujar Chatib dalam Side Event Presidensi G20 Indonesia di Jakarta, Rabu (16/2/2022).
Kementerian Keuangan pada tahun depan akan melakukan konsolidasi fiskal dengan mengembalikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke level tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), untuk menjaga kesehatan keuangan negara. Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) mungkin juga akan menaikkan suku bunga acuan, mengingat inflasi berpotensi meningkat pada tahun depan.
Menurut Chatib, inflasi Indeks Harga Grosir atau Wholesale Price Index (WPI) saat ini sudah lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi Indeks Harga Konsumen atau Consumer Price Index (CPI), namun memang belum ada dampak signifikan dari kenaikan WPI kepada CPI."Ini artinya bisnis belum melakukan passthrough efeknya kepada konsumen dan mungkin produsen baru akan melakukannya di tahun depan," tuturnya.
Pada saat yang bersamaan, OJK akan menyelesaikan masa relaksasi restrukturisasi kredit pada 31 Maret 2023, yang seiring dengan semakin menurunnya angka restrukturisasi.Maka dari itu, ia berharap perbankan bisa mengantisipasi berbagai risiko yang ada di tahun depan agar stabilitas sistem keuangan tetap terjaga.