REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melakukan pertemuan dengan Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins, Presiden COP26 UK Alok Sharma, dan UK COP26 Envoy John Murton di Jakarta, Rabu (16/02).
Dalam kesempatan tersebut Airlangga menyampaikan harapannya agar rencana penerapan standar keberlanjutan terhadap sejumlah komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan yang tengah dilakukan Inggris, ke depannya tidak akan menghambat dan menjadi barrier perdagangan bilateral kedua negara.
“Penting bagi semua negara untuk mengedepankan kerja sama yang saling menguntungkan guna pemulihan ekonomi,” ujar Airlangga dalam keterangan resminya, Kamis (17/2).
Airlangga menjelaskan Pemerintah Indonesia juga menghargai rangkaian proses, kegiatan, dan outcome yang dihasilkan dari Forest, Agriculture and Commodity Trade (FACT) Dialogue yang dipimpin Indonesia bersama Inggris selaku Co-chair selama 2021. Sebagai proses dialog dalam kerangka multilateral dan telah diikuti oleh lebih dari 28 negara, Inggris selaku penggagas Dialog akan menindaklanjuti kesepakatan FACT Dialogue sebagaimana terangkum dalam dokumen Roadmap for Actions yang diluncurkan di selasela COP26 di Glasgow, November 2021 lalu.
“Pemerintah Indonesia tengah melakukan review atas hasil outcome FACT Dialogue dimaksud dan juga format partisipasi ke depannya,” jelasnya.
Airlangga juga mengatakan bahwa Indonesia sebagai Presidensi G20 terus mendorong upaya pemulihan ekonomi global yang berkelanjutan. Selain itu, Airlangga juga menyampaikan prioritas Presidensi G20 yang difokuskan pada Arsitektur Kesehatan Global, Transformasi Ekonomi Digital, dan yang secara khusus berkaitan erat dengan kesepakatan COP26 yakni Transisi Energi guna penurunan emisi karbon.
“Presidensi G20 Indonesia memandang penting perlunya langkah konkret bersama di ketiga area prioritas tersebut dalam rangka menuju pemulihan global yang berkelanjutan,” katanya.
Menyangkut transisi energi, Airlangga menegaskan bahwa Indonesia tengah mengkaji mekanisme pembiayaan yang tepat guna mewujudkan langkah transformatif tersebut. Hal ini tentunya perlu dibarengi dengan upaya mendorong investasi di bidang renewable energy yang saat ini tengah dikembangkan di berbagai daerah di Indonesia (antara lain hydropower dan solar), termasuk teknologi carbon capture and storage yang kesemuanya membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit.
Sejalan dengan Glasgow Climate Pact, Indonesia pun telah meluncurkan skema pembiayaan inovatif dalam rangka mempercepat penutupan pembangkit listrik berbasis batu bara, bekerja sama dengan ADB melaui Energy Transition Mechanism serta pemanfaatan gas amonia untuk pembangkit listrik. Fokus Pemerintah Indonesia dalam hal ketenagalistrikan, yaitu affordability of technology, availability of technology, serta komitmen implementasi.
“Untuk itu solusi dan skema pembiayaan inovatif dan dukungan internasional memang sangat dibutuhkan dan hal ini sejalan dengan komitmen Glasgow,” ujarnya.
Sementara itu, terkait dengan tindak lanjut hasil Konferensi COP26 di Glasgow yang telah menghasilkan Glasgow Climate Pact, Presiden COP26 UK Alok Sharma menyatakan bahwa pihaknya berkomitmen untuk mengimplementasikan kesepakatan tersebut dengan seluruh stakeholders termasuk dengan President designate COP27 Mesir dan Presidensi G7 Jerman.
Ia meyakini bersama Presidensi G20 Indonesia akan tercapai sinergitas di berbagai sektor dan isu dalam rangka penanganan perubahan iklim dan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca secara global. Untuk itu pihaknya siap untuk mendukung Indonesia dalam rangka implementasi kesepakatan Glasgow tersebut seiring dengan Presidensi di G20.