REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH -- Negara-negara Asia Tenggara memulai pembicaraan pada pertemuan para menteri luar negerinya atau ASEAN Foreign Ministerial Retreat di Kamboja, Kamis (17/2/2022). Isu Myanmar masih membayangi pembicaraan tersebut.
Kamboja adalah ketua saat ini dari 10 anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Myanmar dalam setiap pertemuan ASEAN hanya diundang pada tingkat nonpolitiknya saja, meski tidak pernah mengirimkan perwakilannya dalam pertemuan.
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen telah berusaha untuk melibatkan kembali junta. Namun di tengah gesekan atas pendekatan tersebut, ASEAN tetap melarang menteri luar negeri yang ditunjuk militer Myanmar dari pertemuan.
"Tidak diragukan lagi kita mungkin memiliki pandangan yang berbeda kadang-kadang pada beberapa masalah, tetapi keluarga mana yang tidak memilikinya?" kata Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn.
Selain larangan kehadiran menteri luar negeri junta, beberapa menteri ASEAN tidak melakukan perjalanan ke Kamboja. Mereka yang tidak hadir, akan hadir secara virtual. Hal ini dikarenakan adanya lonjakan kasus virus corona di Asia Tenggara.
Prak Sokhonn menyayangkan tidak semua menteri bisa hadir. Menteri luar negeri Vietnam, Bui Thanh Son dinyatakan positif Covid-19 setelah tiba di Phnom Penh. Menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Kamboja Chum Sounry, Bui Thanh Son akan bergabung dalam pertemuan retreat menlu secara online.
Perdana Menteri Kamboja pada Rabu membela keputusannya untuk mengunjungi Myanmar untuk pembicaraan bulan lalu. Dia mengatakan bahwa tanpa terobosan, perdamaian di negara yang dilanda konflik itu mungkin tidak akan tercapai bahkan dalam lima hingga 10 tahun.
Singapura, Filipina, Indonesia, dan Malaysia telah mendesak Kamboja untuk tidak mengundang para jenderal Myanmar sampai mereka memenuhi komitmen yang dibuat tahun lalu untuk mengakhiri permusuhan dan memungkinkan ASEAN untuk memfasilitasi proses perdamaian. Menjelang pembicaraan, Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan mengatakan kekecewaan atas kurangnya kemajuan dalam mengimplementasikan rencana perdamaian.
Krisis politik di Myanmar berkembang sejak militer menggulingkan pemerintah terpilih yang dipimpin oleh pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi pada 1 Februari tahun lalu. Lebih dari 1.500 warga sipil dilaporkan tewas dalam tindakan keras junta terhadap para pemrotes kudeta. Namun junta terus membantah angka jumlah korban tewas dan menyalahkan kekerasan itu pada teroris.
Dalam sebuah laporan pekan ini, organisasi Fortify Rights menuduh militer Myanmar melakukan kekejaman di Negara Bagian Kayah. Di wilayah itu telah menjadi tempat pertempuran sengit, dan meminta ASEAN untuk mendukung embargo senjata terhadap junta.
ASEAN belum secara resmi mengakui pemerintahan militer. Militer Myanmar antara lain menjadi sasaran sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa.
Kementerian luar negeri Myanmar mengatakan dalam sebuah pernyataan pekan ini bahwa pihaknya menyesali keputusan ASEAN untuk melarang perwakilannya hadir. Menurut mereka larangan itu bertentangan dengan prinsip perwakilan yang setara.
"Kami akan terus memperluas keterlibatan konstruktif dengan semua anggota ASEAN," kata Kemenlu Myanmar yang dipegang junta.