Kamis 17 Feb 2022 16:02 WIB

Redam Gejolak Harga, Indonesia Perlu Diversifikasi Negara Pemasok Kedelai Impor

Indonesia merupakan konsumen kedelai terbesar kedua di dunia setelah China.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja membuat tempe dengan kedelai impor (ilustrasi). Diversifikasi negara pemasok kedelai perlu dilakukan untuk mengurangi dampak kenaikan harga dan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga kedelai dalam negeri.
Foto: ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto
Pekerja membuat tempe dengan kedelai impor (ilustrasi). Diversifikasi negara pemasok kedelai perlu dilakukan untuk mengurangi dampak kenaikan harga dan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga kedelai dalam negeri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diversifikasi negara pemasok kedelai perlu dilakukan untuk mengurangi dampak kenaikan harga dan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga kedelai dalam negeri. Indonesia dinilai dapat melihat meningkatkan impornya dari Brasil dan Argentina dari saat ini yang bersumber dari Amerika Serikat.

”Pemerintah perlu mendiversifikasi sumber impor agar harga dan jumlah pasokan kedelai dalam negeri stabil. Indonesia merupakan negara dengan konsumsi kedelai terbesar kedua di dunia setelah China,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nisrina Nafisah dalam keterangan tertulisnya, Kamis (17/2/2022).

Baca Juga

Tercatat, produksi kedelai Brasil mencapai 140 juta ton dan di Argentina mencapai 50 juta ton setiap tahunnya. Jumlah impor kedelai Indonesia dari kedua negara tersebut kurang dari 1 persen total impor Indonesia setiap tahunnya. Indonesia bahkan tidak mengimpor kedelai dari kedua negara tersebut pada 2020 lalu.

Hal ini, lanjut Nisrina, membuka peluang untuk kerjasama yang lebih besar, terutama untuk memenuhi ketersediaan kedelai yang selama ini didominasi kedelai dari Amerika Serikat.

Indonesia diketahui sedang menjajaki kerjasama ekonomi dengan Kawasan Latin Amerika dan Karibia, yang merupakan pasar non-tradisional Indonesia. Kerjasama ekonomi dengan negara di kawasan tersebut mulai diperkuat karena dapat membuka peluang Indonesia untuk membagi kuota impor kedelainya dengan negara Amerika Latin seperti Brasil dan Argentina.

Lebih dari 80 persen kedelai Indonesia berasal dari impor setiap tahunnya. Data dari BPS menunjukkan bahwa sekitar 90 persen impor kedelai Indonesia untuk tahun 2020 datang dari Amerika Serikat sejumlah 2.238,5 ton dari total 2.475,3 ton impor kedelai Indonesia.

Sementara itu, Kanada menjadi negara sumber impor terbesar kedua untuk Indonesia dengan jumlah impor yang mencapai 229,6 ribu ton pada tahun 2020.

Data USDA menunjukkan, naiknya harga kedelai di pasar internasional disebabkan oleh beberapa faktor, seperti berkurangnya pasokan kedelai dunia karena perubahan cuaca yang mengganggu produksi kedelai di negara produsen utama,  yaitu Amerika Serikat, Brasil dan Argentina.

Ia mengatakan, ketiga negara tersebut menghasilkan sekitar 80 persen produksi kedelai dunia. Sejak Desember 2021, produksi kedelai turun 7 persen di Brasil dan 9 persen di Argentina. Walaupun ada penurunan jumlah produksi, kedua negara tetap termasuk sebagai produsen utama kedelai di dunia.

Nisrina menambahkan, badai Ida yang terjadi pada akhir Agustus hingga awal September sempat mengganggu produksi kedelai di Louisiana dan beberapa negara bagian Amerika Serikat lainnya. Oleh karena itu, total pasokan kedelai tahun 2021 menurun sebesar 53 juta bushel atau 1,4 juta ton.

Pasokan kedelai yang turun karena kapasitas produksi yang terbatas dan gangguan cuaca saat masa panen kedelai, yang biasanya jatuh sekitar September sampai Desember di beberapa negara produsen utama, juga turut memengaruhi kenaikan harga

Faktor lainnya yang berperan adalah gangguan pada rantai pasok akibat kurangnya tenaga kerja pada sektor logistik dan tingginya biaya transportasi. Karantina wilayah yang masih diterapkan di berbagai negara juga menambah waktu untuk pengangkutan barang.

Selain itu, bencana Badai Ida di Amerika Serikat merusak pelabuhan New Orleans yang merupakan pelabuhan utama untuk ekspor barang dari Amerika Serikat. “Diversifikasi sumber pangan penting dilakukan untuk memastikan pemenuhan stok kedelai dalam negeri, sehingga ketika terjadi gangguan di satu sumber impor, Indonesia bisa dengan segera beralih ke sumber lain,” katanya.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyampaikan harga kedelai beserta produk turunannya terutama tahu dan tempe diprediksi bakal mengalami kenaikan dalam beberapa bulan ke depan dan baru akan turun di bulan Juli. Kenaikan harga itu disebabkan oleh faktor kenaikan harga internasional imbas penurunan produksi negara-negara produsen.

Sementara itu, Deputi Kementerian Koordinator Perekonomian, Musdalifah, menuturkan, pemerintah masih membahas kebijakan yang akan ditempuh untuk membantu stabilisasi harga kedelai impor. "Masih dibahas, katanya kepada Republika.co.id.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada pekan lalu menjelaskan, berdasarkan data Chicago Board of Trade (CBOT) pekan pertama Februari 2022, harga kedelai sudah mencapai 15,79 dolar AS per bushel atau sekitar Rp 11.240 per kg di tingkat importir.

"Harga itu diperkirakan akan terus mengalami kenaikan dan menurut informasi yang diterima, kenaikannya hingga bulan Mei yang harganya mencapai 15,79 dolar AS per bushel dan baru akan turun di bulan Juli menjadi 15,74 dolar AS per bushel. Turunnya itu tidak langsung signifikan," kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, Oke Nurwan.  

Oke mengatakan, dengan proyeksi perkembangan harga internasional itu, maka kedelai impor bisa dihargai sekitar Rp 11.500 per kg. Dengan tingkat harga kedelai itu, harga produk tempe diperkirakan mencapai Rp 10.300 per kg di tingkat pengrajin dan harga tahu sekitar Rp 650 per potong.

"Jika harga kedelai tidak tertahankan naik sampai Rp 12 ribu per kg, maka harga tempe naik menjadi Rp 10.600 per kg dan tahu sekitar Rp 700 per potong," kata Oke.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement