REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Ukraina meminta Dewan Keamanan PBB menggelar rapat mengenai langkah parlemen Rusia mendorong pemerintahnya mengakui separatis yang memproklamasikan diri di timur Ukraina. Dewan yang terdiri 15 negara itu sudah menggelar rapat mengenai krisis Ukraina dan perjanjian Minsk.
Perjanjian yang ditandatangani tahun 2015 itu dirancang untuk mengakhiri perang separatisme di Ukraina. Rapat Dewan Keamanan digelar saat ketegangan yang disebabkan penumpukan 100 ribu pasukan Rusia di perbatasan Ukraina semakin memanas meski Moskow membantah berencana menggelar serangan.
Pada Rabu (16/2/2022) kantor berita Reuters melihat surat yang dikirimkan Duta Besar Ukraina Sergiy Kyslytsya ke Dewan Keamanan PBB. Dalam surat itu Kyslytsya mengatakan langkah parlemen Rusia memperburuk ancaman baik pada integritas wilayah Ukraina dan arsitektur keamanan global setelah Federasi Rusia terus melakukan pembangunan militer di sekitar perbatasan Ukraina.
Separatis yang didukung Rusia di wilayah Donetsk dan Luhansk atau lebih dikenal Donbass memisahkan diri dari kekuasaan pemerintah Ukraina dan memproklamasikan kemerdekaan pada 2014. Hal ini memicu konflik dengan angkatan bersenjata Ukraina.
Pada Selasa (15/2/2022) lalu majelis rendah parlemen Rusia menggelar pemungutan suara untuk meminta Presiden Vladimir Putin untuk mengakui Donetsk dan Luhansk sebagai wilayah merdeka. Putin menolak menjelaskan rencannya dalam ia menanggapi dorongan tersebut.
Kyslytsya mengatakan keputusan ini merusak perjanjian Minsk. Ia meminta Dewan Keamanan PBB untuk membahas perkembangannya selama rapat di New York.
Dewan Keamanan PBB sudah menggelar rapat puluhan kali untuk membahas krisis Ukraina sejak Rusia menganeksasi Semenanjung Krimea di Ukraina pada tahun 2014. Mereka tidak bisa mengambil langkah lebih jauh karena seperti Prancis, Inggris, Cina dan Amerika Serikat (AS), Rusia juga memiliki wewenang veto.