Jumat 18 Feb 2022 05:39 WIB

Pemimpin Tertinggi Iran Tegaskan Nuklir Terus Dikembangkan

Iran menolak klaim yang menyebut bahwa bom nuklir akan diciptakan.

Rep: Puti Almas/ Red: Dwi Murdaningsih
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei
Foto: EPA-EFE/SUPREME LEADER OFFICE
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN — Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei mengatakan, negaranya akan terus mengembangkan kapasitas nuklir yang bertujuan damai. Ia menolak klaim yang menyebut bom nuklir akan diciptakan. 

Pernyataan Khamenei disampaikan dalam pidato yang disiarkan televisi untuk menandai peringatan peristiwa pemberontakan di Tabriz pada 1978. Ia mengatakan bahwa program energi nuklir Iran dirancang untuk menjaga kemerdekaan negara. 

Baca Juga

"Kami juga akan sangat membutuhkan energi nuklir damai cepat atau lambat. Jika kita tidak memikirkan hal ini hari ini, besok akan terlambat dan tangan kita akan kosong saat itu," ujar Khamenei, dilansir Anadolu Agency, Kamis (17/2). 

Khamenei menambahkan bahwa dunia menjadi semakin bergantung pada energi nuklir. Ia menekankan bahwa program nuklir Iran adalah damai dan Teheran tidak sedang mengembangkan bom nuklir. Dia mengatakan bahwa tuduhan itu sebagai hal yang tidak masuk akal.

“Kami mengupayakan penggunaan energi nuklir secara damai. Mereka tahu, tapi ingin bangsa Iran kesulitan ketika membutuhkan energi nuklir di masa depan,” jelas Khamenei, merujuk ‘mereka’ kepada negara-negara Barat dan Amerika Serikat (AS) yang menuduh Iran mengembangkan bom nuklir. 

Khamenei mengatakan terlepas dari upaya yang sedang berlangsung di Ibu Kota Wina, Austria untuk mencabut sanksi terkait Kesepakatan Nuklir Iran 2015, Teheran akan melanjutkan upaya yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dalam negeri dan menetralisir dampak sanksi.

Pernyataannya datang sehari setelah negosiator utama Iran di Wina, Ali Bagheri Kani, mengumumkan bahwa para pihak lebih dekat dari sebelumnya untuk mencapai kesepakatan. Meski demikian, belum ada yang disepakati sampai semuanya disepakati.

"Mitra negosiasi kami harus realistis, menghindari sikap keras kepala dan mengindahkan pelajaran dari empat tahun terakhir," kata Kani. 

Khamenei mengkritik pakta yang dicapai di bawah pemerintahan Iran sebelumnya pada 2015, dengan mengatakan poin-poin tertentu tidak termasuk di dalamnya, yang menyebabkan masalah. Ia mengatakan perlawanan terhadap kekuatan arogan, mengacu pada AS dan sekutunya, telah menyebar ke seluruh wilayah, menambahkan bahwa itu harus berlanjut.

Iran dan AS telah menjadi musuh bebuyutan sejak revolusi 1979, yang menggulingkan pemerintahan Pahlavi yang didukung AS. Peristiwa itu menyebabkan pengambilalihan Kedutaan Besar AS di Teheran, diikuti oleh krisis penyanderaan selama 444 hari, yang menyebabkan putusnya hubungan diplomatik dan sanksi terhadap Iran.

Pada 2015, kesepakatan nuklir Iran decapai, di mana sanksi dilonggarkan terhadap Iran. Tetapi, pada Mei 2018, mantan presiden AS Donald Trump menarik diri dari kesepakatan itu, menempatkan kedua negara kembali ke jalur perang.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement