REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Junta militer Myanmar akan ambil bagian dalam dengar pendapat di pengadilan tinggi PBB di Den Haag pekan depan. Sidang akan membahas sengketa yurisdiksi atas klaim Gambia yang diajukan pada tahun 2019 di Mahkamah Internasional (ICJ), terkait tuduhan Myanmar melakukan genosida terhadap Muslim Rohingya.
Perwakilan junta dijadwalkan menghadiri sidang virtual di ICJ, untuk membahas keberatan awal terhadap yurisdiksi yang diajukan oleh Myanmar pada Januari 2021. Sidang akan dimulai pada Senin (21/2) mendatang.
Keterlibatan junta dalam sidang di ICJ telah menuai kritik. Seorang pengacara hak asasi manusia dan mantan anggota misi pencari fakta PBB di Myanmar, Christopher Sidoti, mengatakan, junta bukan pemerintah Myanmar. Mereka tidak memiliki kewenangan mewakili pemerintah Myanmar di luar negeri. Menurut Sidoti, kehadiran junta di ICJ merupakan upaya untuk mendapatkan legitimasi internasional.
"Junta tidak memiliki wewenang atau kemampuan untuk bertindak sebagai pemerintah Myanmar di dalam atau di luar negeri. Tetapi dengan tampil di hadapan ICJ, itulah yang akan coba dilakukan," ujar Sidoti.
Sejumlah badan PBB telah mengundang perwakilan junta ke pertemuan, meskipun militer Myanmar tidak memiliki kedudukan resmi di markas besar PBB di New York. Komite kredensial Majelis Umum PBB mengizinkan perwakilan pemerintah yang digulingkan dalam kudeta militer 1 Februari 2021, Kyaw Moe Tun, untuk tetap menjabat.
Anggota Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), mengatakan, Kyaw Moe Tun juga ditunjuk untuk mewakili mereka di Den Haag. Dia adalah satu-satunya orang yang berwenang untuk terlibat dengan pengadilan atas nama Myanmar.
Presiden Organisasi Rohingya Burma Inggris, Tun Khin, mengatakan, rakyat Myanmar dengan jelas menolak junta untuk mewakili mereka. Dia menyinggung serangkaian protes rakyat terhadap kekuasaan militer.
"Semua komunitas internasional, termasuk ICJ, harus mendengar ini, dan tidak memberikan legitimasi apa pun kepada junta," kata Tun Khin.
Sebuah sumber di pengadilan Den Haag mengatakan, perwakilan terdaftar untuk Myanmar adalah Ko Ko Hlaing yang ditunjuk junta, dan Jaksa Agung Uni Myanmar Thida Oo, yang mengepalai tim hukum beranggotakan delapan orang untuk persidangan. Kedua pejabat tersebut berada dalam daftar sanksi Departemen Keuangan AS.
ICJ menolak untuk menjawab pertanyaan Reuters tentang bagaimana memutuskan pejabat yang diakreditasi sebagai perwakilan negara, ketika pemerintah suatu negara diperebutkan. Aturan dalam buku panduan menyatakan bahwa, komunikasi tentang perwakilan ditunjuk oleh Kementerian Luar Negeri atau kedutaan.
Seorang peneliti untuk Human Rights Watch yang berbasis di New York, Shayna Bauchner, mengatakan, kehadiran junta di persidangan tidak memberikan legitimasi atau memvalidasi perwakilan militer di hadapan PBB. Dia mengatakan fokus yang lebih penting adalah keadilan yang ditegakkan atas kekejaman terhadap Rohingya di Myanmar.
Lebih dari 730 ribu warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah tindakan keras yang dipimpin militer pada 2017. Mereka terpaksa tinggal di kamp-kamp kumuh di Bangladesh. Penyelidik PBB menyimpulkan bahwa kampanye militer telah dilakukan dengan niat genosida.
Pada Desember 2019, pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi meminta ICJ untuk menolak klaim Gambia. Dia menyangkal genosida dan mengatakan ICJ seharusnya tidak memiliki yurisdiksi. Suu Kyi kini mendekam dalam penjara setelah pemerintahannya jatuh akibat kudeta militer setahun yang lalu.