REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kerja sama antara pemerintah dan pemangku kepentingan sektor energi diharapkan menjadi kunci utama dalam percepatan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia. Sinergi dan kolaborasi dalam mendorong transisi energi perlu diperkuat guna mencapai realisasi bauran energi 23 persen pada 2025.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial mengungkapkan, partisipasi aktif seluruh pihak akan memudahkan pemerintah dalam mengatasi berbagai tantangan dan dinamikan dalam pengembangan EBT.
"Untuk mengatasi berbagai tantangan dan dinamika dalam pengembangan EBT diperlukan sinergi dan kolaborasi semua pihak sesuai peran masing-masing," ujar Ego, Ahad (20/2/2022).
Pemerintah dan legislatif, imbuh Ego, tengah bersinergi dalam penguatan regulasi. Sementara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta harus mempersiapkan kondisi pasar dan industri pengembangan regulasi. Selain itu, litbang dan akademisi harus mendukung tersedianya alternatif opsi teknologi baru yang dapat diimplementasikan.
"Kami harap masyarakat turut juga berpatisipasi aktif dalam memberikan masukan pada penyusunan kebijakan dan dukungan pelekasanaan pengembangan EBT di lapangan," tambahnya.
Dalam paparanya, Ego merinci beberapa tantangan dalam pengembangan EBT. Pertama, keekonomian dan teknologi dapat mendukung keandalan sistem tenaga listrik dan terciptanya harga yang kompetitif. Kedua, kesiapan industri dalam negeri melalui pemanfaatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Ketiga, keseimbangan pasokan dan pertumbuhan permintaan dengan harga terjangkau. Terakhir, kemudahan perizinan dan penyiapan lahan serta debottlenecking dalam pelaksanaan proyek EBT.
Di samping itu, terdapat pula berbagai pengembangan EBT. Di antaranya dana EBT, sharing jaringan melalui sistem power wheeling, harga dan insentif EBT hingga harmonisasi perizinan.
Ego mengungkapkan, arah kebijakan energi nasional saat ini adalah melaksanakan transisi energi, yaitu dari energi fosil menuju energi yang lebih bersih, minim emisi, dan ramah lingkungan, terutama melalui pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT). "Masih diperlukan usaha yang lebih intensif untuk mencapai target 23 persen pada 2025," ungkapnya.
Guna mencapai tujuan tersebut, Ego menegaskan pentingnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi serta kegiatan riset sebagai dukungan utama pengembangan EBT. "Dalam siklus proyek energi terbarukan, pelaksanaan litbang yang baik akan secara terus menerus menghasilkan teknologi baru yang lebih efisien dan kompetitif, sehingga dapat menurunkan biaya Levelized Cost of Electricity (LCOE) pembangkit, dan meningkatkan value added pada produk industri EBT," tegasnya.